Kemenkum HAM Luncurkan Sistem Aplikasi Pewarganegaraan Elektronik

Kemenkum HAM Luncurkan Sistem Aplikasi Pewarganegaraan Elektronik
Seminar Rekonstruksi Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia Untuk Menjamin Perlindungan dan Kepastian Hukum Warga Negara serta me-Launching Aplikasi Pewarganegaraan di Hotel Four Season, Jakarta Selatan, Senin (8/11). Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI Cahyo R Muzhar mengatakan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam pelaksanaannya sampai saat ini terdapat beberapa permasalahan kewarganegaraan yang dihadapi, mengingat dinamika futuristik kewarganegaraan yang begitu cepat.

“Seiring berjalannya waktu dan timbulnya kebutuhan, terdapat hal yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan UU Kewarganegaraan dalam hal ini salah satunya tentang anak hasil perkawinan campuran yang biasa disebut anak berkewarganegaraan ganda,” kata Cahyo saat menjadi Keynote Speach pada Seminar Rekonstruksi Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia Untuk Menjamin Perlindungan dan Kepastian Hukum Warga Negara serta me-Launching Aplikasi Pewarganegaraan di Hotel Four Season, Jakarta Selatan, Senin (8/11).

Cahyo menjelaskan dalam UU Kewarganegaraan hanya dikenal prinsip kewarganegaraan tunggal dan dwi kewarganegaraan terbatas atau ganda terbatas yang diartikan seorang anak dapat memiliki kewarganegaraan ganda hingga umur 18 tahun dan setelah itu paling lambat umur 21 tahun, anak tersebut harus menentukan sendiri menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan dalam rentang usia yang ditentukan dalam UU (18 sampai dengan 21 tahun).

Di sisi lain bagi anak-anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum berlakunya UU Kewarganegaraan (UU Nomor 12 Tahun 2006), harus didaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM paling lambat 4 tahun setelah UU kewarganegaraan diundangkan guna memperoleh Surat Keputusan anak berkewarganegaraan ganda sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU Nomor 12 Tahun 2006.

Dalam kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Badan Intelejen Negara, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Badan Intelejen Strategis, Persatuan Basket Indonesia, Organisasi Perkawinan Campur Indonesia serta beberapa Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI.

“Pada pelaksanaannya, banyak yang telat memilih kewarganegaraan dan juga tidak mendaftarkan kepada Menteri Hukum dan HAM dalam rentang waktu yang sudah ditentukan Undang-Undang. Akibatnya anak hasil perkawinan campuran terancam menjadi warga negara asing,” ujarnya.

Dia mengemukakan bahwa saat ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang melakukan upaya penyelesaian terhadap permasalahan kewarganegaraan tersebut melalui proses perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia yang merupakan turunan dari UU Kewarganegaraan.

“Salah satu materi perubahannya adalah mengenai tata cara pewarganegaraan bagi anak-anak yang tidak mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan anak yang telah mendaftar sesuai ketentuan Pasal 41 namun tidak memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia sampai batas waktu yang ditentukan berakhir,” ujarnya.

Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum sekaligus me-launching pengembangan aplikasi pewarganegaraan yang bernama Simponik (Sistem Aplikasi Pewarganegaraan Elektronik)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News