Kementan Bocorkan Rahasia Pengembangan Budi Daya Pisang Berprospek Ekspor

Kementan Bocorkan Rahasia Pengembangan Budi Daya Pisang Berprospek Ekspor
Kementerian Pertanian bocorkan rahasia budidaya pisang berprospek ekspor. Foto: Hortikultura

Dalam hal ekspor, pisang lokal masih menjumpai kesulitan untuk bersaing di pasar luar negeri. Associate Director PT GGP, Supriyono Loekito membeberkan beberapa kesulitan utama pisang lokal untuk bersaing.

Dia memerinci kesulitan itu seperti produktivitas rendah namun biaya produksi tinggi, kualitas produk tidak konsisten, produk tidak bisa dilacak catatan perlakuannya, dan tidak memiliki sertifikasi mutu untuk pasar internasional. Selain itu, ada 1 (satu) hambatan lain yang tidak bisa dihindarkan, yakni adanya diskriminasi pengenaan tarif produk Indonesia di negara tujuan ekspor.

“Kendala lain yang di luar kemampuan kita adalah diskriminasi pengenaan tarif terhadap produk Indonesia dari negara-negara tujuan ekspor kita. Bisa kita lihat perbedaan tarifnya. Di Jepang, pisang kita ini dikenakan tarif ekspor 10 persen, sementara Filipina tidak dikenakan tarif apapun,” jelas Supriyono.

Supriyono menambahkan, untuk bisa melakukan ekspor, perlu adanya sertifikasi karena produk yang dikirim harus yang berkualitas terbaik dan dalam kondisi sempurna. Tidak boleh ada yang busuk atau cacat. Kemudian, dibutuhkan juga phytosanitary certificate yang dikeluarkan oleh pihak karantina.

Kualitas dan kondisi produk pisang yang baik untuk ekspor, tidak lepas dari peran penerapan Global Good Agriculture Practice (GAP) for Banana Production. Ada 6 (enam) poin Global GAP yang perlu diperhatikan, yaitu proses produksi menerapkan higienitas yang baik, bebas residu pestisida, menerapkan sistem traceability, menjamin keamanan dan kesejahteraan pekerja, produksi ramah lingkungan, dan menerapkan sistem dalam mengatur produk GMO.

Selain menerapkan Global GAP for Banana Production, lokasi dan teknologi budidaya juga sangat mempengaruhi kualitas pisang untuk ekspor. Supriyanto memaparkan bahwa semakin tinggi lokasi budidaya, semakin enak dan manis rasa pisang yang dihasilkan. Dampaknya, harga jualnya pun juga bisa lebih tinggi.

“Semakin tinggi tempat budidaya, rasanya lebih enak dan lebih manis. Harganya juga bisa lebih tinggi, terutama di Jepang,” ujarnya.

Dari sisi teknologi budidaya, hal pertama dan yang paling utama dari budidaya pisang adalah bibit. Supriyanto menyatakan bahwa harus menggunakan bibit yang benar-benar bagus dan diharapkan dari Meristem Tissue Culture (MTC). Setelah itu, dapat mulai dilakukan proses produksi pisang secara umum mulai dari penyiapan lahan; penanaman secara manual 2.000-3.000 tanaman per ha; perawatan tanaman; perawatan buah seperti bud injection, bagging, penyangga dan penandaan; pemanenan sesuai spesifikasi packing; hingga packing untuk melindungi buah dari kebun ke pasar.

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura memiliki program Kampung Hortikultura yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing hortikultura.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News