Kemewahan Demokrasi dan Pasal Penghinaan ke Presiden RI

Oleh; Zaenal A Budiyono*

Kemewahan Demokrasi dan Pasal Penghinaan ke Presiden RI
Kemewahan Demokrasi dan Pasal Penghinaan ke Presiden RI

jpnn.com - RENCANA pemerintah untuk memasukkan kembali pasal penghinaan presiden di KUHP yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Kita tahu perjuangan mahasiswa sejak era 1970-an sampai 1998 melawan tirani Orde Baru, salah satu yang ditentang keras adalah absolutisme kekuasaan presiden. Hal ini terlihat dari begitu kuatnya rejim, sehingga sangat anti-kritik dari luar.

Setelah Orde Baru tumbang, perlahan terjadi rasionalitas publik dalam melihat kekuasaan. Lembaga kepresidenan tak lagi dianggap menakutkan seperti dulu, dan publik bisa memberikan masukan, dari yang sifatnya kritik biasa sampai tekanan politik. Ini sejalan dengan prinsip demokrasi yaitu check and balances. Yang menjadi penyeimbang kekuasaan bukan hanya legislatif dan partai politik, melainkan juga organisasi masyarakat, bahkan individu.

“Kemewahan” ini sudah kita nikmati tujuh belas tahun sejak reformasi. Bahwa terkadang ada kritik dan masukan yang terlalu keras sehingga membuat telinga kekuasaan panas, itu adalah bagian dari dinamika politik menuju konsolidasi demokrasi. Dengan berjalannya waktu, kegaduhan berlebih akan tertata seiring dengan pelaksanaan demokrasi yang makin berkualitas.

Di AS dan Eropa, demokrasi berjalan bebas hampir 100 persen. Tapi rakyat di sana tidak menunjukkan kegaduhan yang tak perlu. Itu karena semua stakeholders di negara tersebut menjalankan demokrasi secara benar.

Sementara di sini, pemerintahan Jokowi yang kemenangannya di Pilpres lalu banyak ditopang elemen civil society (elemen yang hanya ada di negara demokratis), nyatanya di umur pemerintahan yang belum genap setahun sudah terjebak pada penyakit kekuasaan. Yaitu ketakutan yang berlebihan.

Percayalah, bila pemerintah berjalan di rel konstitusi, menjalankan amanat rakyat, tak perlu takut terhadap kritik. Sebab kritik hanya muncul bila pemerintah dianggap keluar jalur konstitusi dan kepentingan nasional.

Bahwa terkadang ada saja kelompok kepentingan yang memanfaatkan luasnya ruang demokrasi untuk menyerang pemerintah secara membabi buta, termasuk fitnah, hal itu juga terjadi di negara demokrasi manapun. Tinggal Presiden Jokowi sebagai individu atau warga negara menempuh jalur hukum, bila kehormatannya diganggu.

Apa yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono semasa menjadi presiden saat melaporkan fitnah-fitnah ke polisi -seperti saat ia disebut memiliki istri lain atau keluarganya disebut menerima aliran dana ilegal- merupakan langkah yang lebih tepat daripada meminta pasal khusus penghinaan presiden di KUHP. Tapi SBY juga tidak mengadukan semua kritik, hanya yang benar-benar menyerang pribadi dan keluarga yang dilaporkannya.

RENCANA pemerintah untuk memasukkan kembali pasal penghinaan presiden di KUHP yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 merupakan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News