Kemewahan Demokrasi dan Pasal Penghinaan ke Presiden RI
Oleh; Zaenal A Budiyono*

Kalau melaporkan semua kritik, barangkali presiden akan habis waktunya untuk mengurusi kritik, sehingga tugas kenegaraan bisa terbengkalai. Toh dengan pengaduan sebagai warga negara, fitnah atau tuduhan tak berdasar bisa diselesaikan, dan nama baik presiden tak terganggu.
Jangan-jangan Presiden Jokowi sebenarnya tidak ingin memaksakan “pasal karet” ini masuk ke KUHP. Bisa saja ini pekerjaan anak buahnya yang sedang mencari muka.
Ingat penyakit birokrasi bangsa ini yang sangat menahun adalah perilaku melayani atasan secara berlebihan, atau bahasa lainnya asal bapak senang (ABS). Apalagi sebelumnya Presiden Jokowi pernah “dikerjai” pembantu-pembantunya ketika salah menandatangani Perpres Uang Muka Mobil pejabat yang kemudian terkenal dengan sindiran “I Don’t Read What I Sign”.
Belum lagi kesalahan menulis singkatan BIN beberapa waktu lalu. Ini artinya, bisa saja Jokowi sekarang juga “dikerjai” lagi karena mungkin belum memahami secara utuh isi pasal penghinaan dimaksud.(***)
*Penulis adalah mantan asisten staf khusus kepresidenan. Kini memimpin lembaga kajian Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta.
RENCANA pemerintah untuk memasukkan kembali pasal penghinaan presiden di KUHP yang pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 merupakan
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi
- 'Indonesia First’ demi RI yang Berdikari di Tengah Gejolak Dunia
- Prabowo Subianto dan Relasinya dengan Umat Islam
- Wacana Gelar Pahlawan untuk Pak Harto dan Bagaimana Menyikapinya
- Halalbihalal UNTAR 2025 Merajut Harmoni, Menyongsong Kemenangan dalam Keberagaman
- Pengacara Hedon, Rakyat Tekor: Rp 60 Miliar untuk Menyapu Rp 17,7 Triliun
- Jangan Hanya Omon-omon, Maluku Butuh Roadmap Hilirisasi Berbasis Gas Blok Masela