Ketika Penunjuk Jalan Tidak Tahu Medan

Ketika Penunjuk Jalan Tidak Tahu Medan
Pilot AirAsia QZ8501 Iriyanto. Foto: dok.Keluarga

jpnn.com - BELUM ada tanda-tanda di mana pesawat Air Asia Indonesia jenis Airbus A320 PK-AXC berada. Pun demikian dengan penyebab hilangnya kontak dengan pesawat yang rencananya terbang dari Surabaya menuju Singapura bernomor QZ8501 pada Minggu lalu itu (28/12).

Namun, beberapa fakta mengemuka kemarin (29/12). Fakta-fakta yang bisa jadi menyebabkan perjalanan yang dipimpin Kapten Pilot Iriyanto itu mengalami masalah.
       
Fakta itu terkonfirmasi dalam konferensi pers setelah rapat Kemenhub di Gedung Otoritas Bandara Wilayah I Cengkareng kemarin. Pertemuan tertutup itu dihadiri oleh Menteri Perhubungan Ignatius Jonan, Plt Dirjen Perhubungan Udara Djoko Murjatmojo, ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Tatang Kurniadi, dan Kepala Basarnas Marsekal Madya FHB Soelistyo. CEO Air Asia Tony Fernandes juga turut hadir dalam rapat tersebut.
       
Fakta pertama terkait ketidakmampuan radar Air Traffic Control (ATC) untuk membaca kondisi cuaca. Menyikapi itu, Bambang Tjahjono, Direktur AirNav (perusahaan yang melayani navigasi penerbangan), membenarkan bahwa radar yang dimiliki pihaknya "buta" cuaca.

Namun, itu seharusnya tidak menjadi masalah sebab pilot sudah mendapatkan data cuaca dari BMKG.
       
Bambang melanjutkan, radar cuaca sudah ada di pesawat. Sehingga, pilot bisa memetakan di mana jalur yang berbahaya dan tidak.

"Namanya pilot in command. ATC berhak perhatikan permintaan pilot. Namun ATC juga memberitahu bahwa pesawat tidak bisa pindah mendadak lantaran lintasan pesawat padat," terangnya.
       
Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang juga hadir dalam rapat ikut angkat suara, bahwa setiap penerbangan sudah punya flight plan. Di dalam rencana penerbangan itu terdapat data BMKG terkait cuaca. "Jadi kalau ingin tahu detail tanyakan ke BMKG," tandasnya.
       
Namun, dalam kasus QZ8501, bisa diumpamakan Pilot Iriyanto meminta petunjuk jalan kepada orang yang tidak tahu medan. Dalam kasus ini cuaca di sekitar pesawat. Bisa dibayangkan, betapa berbahaya dan berisikonya perjalanan Iriyanto dalam kondisi seperti itu.
       
Si penunjuk jalan hanya bisa memberikan petunjuk agar tidak terjadi tabrakan. Bukan jalan yang aman untuk keselamatan.
       
Direktur Safety dan Standar AirNav Wisnu Darjono juga ikut rapat Kemenhub juga membenarkan bahwa radar yang dimiliki ATC tidak mempunyai kelengkapan weather radar.

"Nanti gambar lintasan pesawat ketumpukan (tertumpuk) dengan citra cuaca sehingga petugas tidak bisa lihat," katanya memberikan alasan.
       
Meski demikian, Wisnu menyatakan AirNav ke depan akan memasang radar cuaca di ATC. Radar cuaca itu tidak digabung, namun di letakkan di layar monitor di samping radar pesawat.

Dan hal itu sudah dilakukan di Negara lain termasuk Singapura. "Jadi ke depan petugas juga bisa melihat cuaca," paparnya.
       
Fakta kedua terkait dengan beban kerja petugas ATC yang kelewat berat. Seorang ATC di Indonesia bisa meng-handle 7-15 pesawat. Wisnu menyebut hal itu sebagai hal yang biasa, sudah dilakukan selama bertahun-tahun di Indonesia. Namun, dalam kasus QZ8501, hal itu bisa saja meningkatkan risiko masalah penerbangan.

Sebab, saat itu di dekat QZ8501 ada tujuh pesawat. Iriyanto yang secepatnya butuh jalur baru untuk menghindari cuaca buruk, akhirnya tidak bisa dikontak sebelum diberi jalur yang dibutuhkan itu.
       
Fakta berikutnya terkait Iriyanto yang tidak hadir dalam rapat persiapan penerbangan. Rapat itu diselenggarakan untuk menentukan flight plan. Rapat itu dihadiri oleh orang lain. Sehingga dialah yang bertanda tangan dalam flight plan.
       
Menurut Wisnu hal itu diperbolehkan menurut aturan internasional. Asal penggantinya mempunyai lisensi sebagai flight operation officer. "Seperti saya. Saya punya lisensi sebagai flight operation officer. Jadi saya bisa mengisi flight plan," tandasnya.
       
Selanjutnya, fakta yang terungkap adalah ketidakkonsistenan kemenhub terkait kronologi pesawat hilang kontak. Berdasarkan rilis resmi kronologi perjalanan pesawat yang dilansir Kemenhub Minggu lalu, pesawat take off pukul 05.36 WIB dari Bandara Juanda. Pada pukul 06.12 WIB pilot meminta untuk belok ke kiri dan menaikkan ketinggian dari 32 ribu kaki menuju 38 ribu kaki.
       
Masih berdasarkan rilis hari Minggu itu, disebutkan bahwa belok kiri sejauh tujuh mil disetujui. Namun, untuk menambah ketinggian belum. Nah, ketika akan dilakukan kontak lagi pada 16.17 WIB, pesawat sudah tidak tampak di radar, hanya sinyal ADS-B. Pada 16.18 WIB, sinyal itu juga menghilang. Sampai akhirnya pada pukul 07.55 WIB pesawat dinyatakan hilang.
       
Namun, setelah rapat Kemenhub kemarin, diungkapkan versi lain dalam komunikasi pilot dengan ATC. Disebutkan dalam konferensi pers setelah rapat itu, pada 06.14 WIB petugas ATC hendak memberikan jawaban. Akan tetapi QZ8501 sudah tidak bisa dikontak.
       
Kenapa rilis kronologi bisa beda, tidak ada jawaban jelas dari kemenhub.  Namun, tempo dua atau tiga menit dalam perjalanan pesawat adalah satu momen yang cukup panjang. Pesawat bisa menempuh puluhan kilometer. Termasuk harus menembus zona-zona bahaya dalam tempo itu. (aph/ang)

Fakta Terkait Hilangnya Air Asia QZ8501
1. Radar ATC tidak bisa membaca cuaca. ATC hanya bisa memberikan petunjuk jalur agar tidak terjadi tabrakan. Jalur itu melewati cuaca buruk atau tidak, ATC tidak bisa mengetahui.
2. Dalam meeting dengan ATC, Pilot Iriyanto tidak hadir
3. Satu petugas ATC bisa meng-handle 7-15 penerbangan
4. Inkonsistensi Kemenhub soal kronologi masalah penerbangan QZ8501 sampai hilang kontak.


BELUM ada tanda-tanda di mana pesawat Air Asia Indonesia jenis Airbus A320 PK-AXC berada. Pun demikian dengan penyebab hilangnya kontak dengan pesawat


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News