Ketimpangan Digital Jadi Tantangan Sektor Ekonomi Kreatif

Ketimpangan Digital Jadi Tantangan Sektor Ekonomi Kreatif
Capres nomor urut 3 di Pilpres 2024 Ganjar Praowo bersama Gus Kiki, dan Mbak Yenny Wahid berziarah ke makam Gus Dur, Mbah Hasyim dan keluarga besar Pesantren Tebuireng. Foto: Keluarga Yenny Wahid

“Mereka punya knowledge yang bagus maka sebenarnya creative hub-nya tinggal disediakan. Kolaborasi di antara mereka sebenarnya memunculkan tokoh-tokoh baru," kata Ganjar.

Nailul menegaskan dengan digitalisasi, pasar terbuka melampaui batas wilayah. Namun, di Indonesia, masih ada batas ‘jaringan’.

Akses internet yang belum merata, membuat pasar berbasis digital terkonsentrasi di kota tier 1 dan tier ke 2 alias kota-kota besar.

“Meski secara market besar, tetapi pasarnya terkonsentrasi di kota tier 1 dan 2. Kota tier 3 dan 4 masih sangat terbuka. Namun, potensinya terbatas. Makanya perlu dukungan untuk bisa masuk ke kota tier 3 dan 4,” ungkap dia.

Dia menyebut kaitan antara ekonomi digital dan ekonomi kreatif sangat erat.

“Dengan demikian, kenaikan ekonomi digital akan mengerek ekonomi kreatif juga,” ujar Nailul.

Kemudian subsektor fashion dalam negeri menghadapi soalan persaingan.

“Persaingan dengan produk impor yang nilainya sangat besar sekali, terutama di era digital. Banyak dari pemain fashion yang mengeluhkan persaingan dengan produk impor. Padahal industri fashion tengah naik. Ini juga perlu dukungan dari pemerintah,” tegas Nailul.

Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda mengatakan masih banyak tantangan yang dihadapi pelaku ekonomi kreatif di berbagai bidang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News