Kisah Keluarga Buta yang Tetap Gigih Menyambung Hidup dengan Jualan Air

Kisah Keluarga Buta yang Tetap Gigih Menyambung Hidup dengan Jualan Air
Nyoman Warka bersama istri dan anaknya. Foto Indra Prasetia/Radar Bali/jpnn.com

Meski punya langganan, namun harga air yang diterimanya sebagai upah tidaklah banyak. Hanya Rp 2.000 per ember besar.

"Saya memang tidak mematok harga, sukarela mau ngasih berapa,” terangnya.

Menurut pria kelahiran 1967 ini, rata-rata air yang diambilnya untuk kebutuhan dapur. Diakuinya, setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia selalu berjualan air.

"Saya jualan air pakai ember sejak 1993, sejak saya masih teruna (bujangan, Red), dulu masih harga air Rp 500. Dulu sudah senang sekali saya,” ujar pria yang pandai pidato bahasa Bali itu.

Dia sendiri menjelaskan, untuk mengangkat air menggunakan ember memang perlu banyak tenaga. Dulu, untuk mencapai sumber kelebutan dia kerap membuat jalan setapak untuk akses ke bawah.

"Kadang jalannya rusak karena banyak yang lewat, dan saya perbaiki sendiri, saya ke sana sini minta batu untuk perbaiki jalan ke sumber kelebutan,” tandasnya.

Diakuinya, dulu pesanan air sangat banyak. Tapi, sekarang zaman sudah semakin berubah. Banyak warga di desanya sudah beralih memakai mesin pompa air untuk mengambil air kelebutan itu menggunakan pipa.

"Sekarang pesanan saya sedikit, ini 15 pelanggan. Itu pun tidak semuanya minta air setiap hari. Kadang 5-6 pelanggan,” jelasnya.

Mempunyai keterbatasan pengelihatan, tak membuat Nyoman Warka, 46, warga Banjar Saba, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh menyerah. Ia tetap gigih memperjuangkan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News