Kisah Ngeri Pengungsi Rohingya, Saling Bunuh di Kapal, yang Takut Berkelahi Nyebur ke Laut

Kisah Ngeri Pengungsi Rohingya, Saling Bunuh di Kapal, yang Takut Berkelahi Nyebur ke Laut
Pengungsi anak-anak dan perempuan Rohingya terlelap di tenda pengungsi di Kuala Langsa, Aceh Utara. Masa depan mereka belum jelas. (Aqwam Hanifan/Jawa Pos)

Meski terpejam, sayup-sayup terdengar igauan pengungsi yang menangis, meringis, meminta tolong, atau menyebut nama-nama keluarga. Hal itu dialami pengungsi beragam usia, dewasa hingga balita, perempuan serta laki-laki.

’’Itu adalah momen yang mengerikan. Benar-benar mengerikan. Saya tidak ingin lagi mengingatnya,’’ ujar Ali lantas menengadah.

Setelah terkatung-katung selama 41 hari di tengah laut dari Myanmar hingga terdampar di Aceh, perahu yang disesaki 363 pengungsi Rohingya itu mendapat tambahan 558 pengungsi lain dari tiga perahu kecil yang berdatangan. Kebanyakan adalah warga Bangladesh dewasa yang juga meninggalkan negara mereka.

Kondisi itu diperparah kaburnya kapten kapal dan smugglers (penyelundup orang) yang meninggalkan mereka. Kapal pun terombang-ambing di tengah laut tanpa arah dan tujuan. ’’Meski begitu, kami bersahabat dengan mereka. Saling membaur dan berinteraksi,’’ tutur Ali.

Dalam kondisi yang tidak menentu tersebut, persediaan air dan makanan makin lama makin habis. Untung, beberapa kali nelayan lokal serta kapal TNI-AL Indonesia dan Malaysia datang memberikan bantuan makanan. Namun, setelah itu, mereka pergi dan membiarkan 921 pengungsi tersebut kembali terkatung-katung di tengah laut.

’’Stok air tinggal empat botol. Itu pun hanya untuk perempuan dan bayi-bayi kami. Namun, Bangla (orang Bangladesh, Red) marah tidak bisa menerima. Gara-gara itu, di dek kapal, orang jadi terbagi dua. Mereka di depan, kami di belakang bersama anak-anak dan para perempuan,’’ ungkap satu-satunya pengungsi Rohingya yang bisa berbahasa Inggris tersebut.

Senja yang jingga mulai turun di Selat Malaka. Matahari berbinar dan tempias ombak yang relatif tenang. Namun, di atas dek kapal, ketenangan itu sama sekali tidak terasa. Tiba-tiba saja, kata Ali, terjadi tawuran masal di sana. Dek kapal yang hanya berukuran 10 x 20 meter itu jadi arena saling bantai. Kayu, besi, pisau, parang, dan tombak mereka gunakan untuk menghabisi lawan.

Para lelaki yang takut berkelahi memilih mencebur ke laut. Setelah itu, nasib mereka tidak diketahui. Para perempuan dan anak-anak tidak henti menjerit histeris di bagian belakang. Kalah jumlah, para pengungsi Myanmar pun terdesak. Setelah itu, yel-yel ’’Joy Bangla (Kejayaan untuk Bangladesh, Red)’’ bergema di atas kapal. Perkelahian tersebut berakhir setelah puluhan korban berjatuhan.

BANYAK cerita di balik terdamparnya para pengungsi Rohingya, Myanmar, yang kini ditampung di Pelabuhan Kuala Langsa, Langsa, Aceh Utara. Tidak hanya

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News