Kisah Nurika, Bidan Desa Terpencil yang Diikuti Buaya saat Melayani Pasien

Kisah Nurika, Bidan Desa Terpencil yang Diikuti Buaya saat Melayani Pasien
Kisah Nurika, Bidan Desa Terpencil yang Diikuti Buaya saat Melayani Pasien

Namun bukan jarak dari Desa Lalang Tanjung yang selalu menjadi kekhawatirannya, tetapi akses jalan yang sangat buruk menjadi tantangan yang harus ditaklukkannya. Tak jarang juga dia bersama suaminya terjatuh di jalan yang dalam kondisi parah.

Untuk diketahui dari bibir pelabuhan Desa Tanjung Dahrul Takzim yang berada di Depan Pelabuhan Desa Lalang Tanjung ke pemukiman masyarakat Desa harus ditempuh lebih kurang sepanjang 3 kilometer. Kondisi jalan tanah.

Jika dimusim kemarau akan berdebu, dan dimusim hujan akan becek. Untuk memudahkan melewati jalan tanah tersebut, masyarakat membangun sekeping papan disepanjang jalan tersebut. Namun perlu keahlian khusus agar bisa dilewati jalan tersebut agar tidak terjatuh. Karena hanya sekeping papan, masyarakat memberi nama jalan tersebut sitotol mustaqim.

Pelabuhan penyebrangan akan terendam air ketika pasang keling yang selalu terjadi di bulan November, Desember sampai dengan bulan Januari, hal itu tentunya akan menjadi tantangan yang sangat berat.

“Pernah untuk menolong orang sakit di Desa Tanjung Darul Takzim), harus dengan berjalan kaki sendirian melewati pasang keling yang ketinggian air mencapai sepinggang. Mau tak mau harus dilakukan untuk menolong orang di seberang sana,” ujar Nurika menceritakan kejadian beberapa tahun lalu kepada Riau Pos.

Bukan hanya sampai di situ saja, diceritakannya lagi bahwa pernah satu waktu warga di Desa Tanjung Darul Takzim meminta pertolongannya yang mengalami sakit parah. Ketika itu sudah tengah malam. Bersama suaminya meminjam kempang dengan mendayung sendiri. “Karena tidak bisa mendayung dengan baik kami sempat hanyut,  tapi akhirnya bisa selamat ke sebarang,” ujarnya.

Tantangan setelah sampai di sebarang sungai adalah kegelapan. Karena kiri dan kanan jalan sangat gelap karena bukan rumah yang tersusun disamping jalan, namun hutan perkebunan sagu. Untuk sampai ke pemukiman masyarakat yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dan melalui jalan sekeping papan mencapai waktu lebih kurang 15 menit.  

Sementara jika harus membawa pasien yang mengalami sakit parah yang harus berbaring, warga di sana tidak bisa memanfaatkan jalan tersebut, masyarakat akan memilih membawa dengan menggunakan pompong melalui pelabuhan lainnya yang berada di ujung Sungai Suir yang lebih dekat dari pemukiman dan lebih memiliki jalan yang baik. 

Manusia dan buaya tidak bisa hidup berdampingan. Keberadaan buaya menjadi ancaman bagi manusia. Namun kondisi itu tidak bisa dihindari oleh Nurika

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News