Kisah Perpustakaan Jalanan di Tengah Demo Sudan

Kisah Perpustakaan Jalanan di Tengah Demo Sudan
Perpustakaan jalanan yang dibuka Abdirahman Moalim.di lokasi demonstrasi di Khatoum, Sudan. Foto: Ist

jpnn.com, KHARTOUM - Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Prinsip itu diterapkan oleh Abdirahman Moalim. Dia ikut aksi demonstrasi di Sudan sambil membawa banyak buku. Tujuannya, rekan seperjuangannya memiliki budaya baca.

Puluhan buku berjajar rapi di atas aspal dekat pusat militer Sudan di Khartoum. Beberapa pemuda dan pemudi membaca dengan asyik. Sebagian lain memilih-milih buku yang bakal dibaca. Ada yang melakukannya sambil duduk, berdiri, bahkan jongkok. Pemandangan itu dijumpai bukan di pasar kaget. Mereka juga bukan orang-orang biasa. Melainkan massa yang menuntut pergantian pemerintahan.

"Ini kali pertama saya di sini dan saya sangat menyukainya. Banyak buku bagus untuk dibaca dan sebagian besar sebelumnya tidak beredar," ujar Arif Abdala, guru SD yang ikut aksi, sembari membaca buku di lokasi.

Abdirahman Moalim adalah sosok di balik ide menggelar buku di lokasi demonstrasi itu. Sejak 19 Desember tahun lalu, penduduk Sudan memang turun ke jalan. Mereka menuntut Presiden Omar Al Bashir mundur dari kekuasaannya. Dia akhirnya dikudeta militer pertengahan April lalu. Namun, rakyat juga tak ingin dipimpin militer. Karena itu, aksi massa yang mayoritas damai tersebut tetap berlangsung.

Moalim ikut aksi sejak awal. Pustakawan itu merasa sayang jika aksi yang didominasi dengan duduk diam tersebut hanya dihabiskan untuk sekadar berbicara dengan teman di samping atau membuka media sosial. Terlebih, mayoritas demonstran masih muda. Dia lalu memutuskan untuk membawa beberapa buku dan menggelarnya di dekat aksi massa. Ternyata, respons mereka positif. Banyak yang akhirnya tertarik untuk meminjam dan membaca buku di lokasi.

"Mayoritas membaca buku tentang politik dan kekuasaan. Hampir tidak ada yang membaca buku fiksi," tegas pustakawan Perpustakaan Modern Kabo itu seperti dikutip Al Jazeera.

Pria 35 tahun itu mengungkapkan, banyak di antara buku-buku yang dia bawa yang tidak tersedia di toko buku. Misalnya saja buku tentang konflik di Darfur. Juga kisah-kisah tentang revolusi di berbagai belahan dunia.

"Mereka (pemerintah Sudan, Red) paranoid. Mereka takut penduduk mengetahui apa yang sedang terjadi. Mereka ingin membuat penduduk tetap dalam kegelapan," terang dia.

Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Prinsip itu diterapkan oleh Abdirahman Moalim. Dia ikut aksi demonstrasi di Sudan sambil membawa banyak buku

Sumber Jawa Pos

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News