Kisah Spiritual: Dari Laku Kebatinan, Belajar Nilai Islam

Oleh: Prof Dr dr Sardjana SpOG(K)SH NSL

Kisah Spiritual: Dari Laku Kebatinan, Belajar Nilai Islam
Prof Dr dr Sardjana SpOG(K)SH NSL

Saya membuka diri untuk kelompok agama dengan ajaran-ajaran agama tingkat tinggi sehingga tidak ada ulama ataupun tokoh-tokoh agama yang bisa merasa tersaingi.

Komitmen saya sebagai umat Islam ialah komitmen pada nilai, bukan pada golongan. Pemikiran saya ini menarik. Kita tahu, nilai memiliki kepastian relatif, sedang golongan tidak.

Seseorang boleh ”berkulit” haji, berbendera Muhammadiyah atau NU, tapi jaminan dari orang itu bahwa dia akan senantiasa lurus dan bersikap luhur sebagaimana nilai-nilai yang melekat pada baju yang dipakainya tidak ada.

Saya punya banyak komitmen nilai, sekaligus golongan, di tengah kaum Muhammadiyah saya bilang Muhammadiyah, di tengah orang-orang NU saya bilang bahwa saya seorang NU tulen. Sebab, bapaknya kakek saya Kiai Irsyad adalah pendiri NU.

Akhirnya orang-orang sekeliling saya pun tahu, mereka juga menyebut saya seorang agamawan. Di mata teman teman saya, pengakuan semacam itu dianggap sebagai ”bergaya ekspansif, seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”.

Saya merasa harus berdiri di atas semua golongan, agaknya saya beranggapan tidak berlebihan, meskipun saya tidak mengatakan, keragaman identik dengan perpecahan, sedang saya gandrung akan persatuan.

Kata Bernard Dahm, kita harus bisa menggabungkan hal berbeda satu sama lain itu ke dalam satu sintesa harmonis. Orang Jawa bilang, segala sesuatu itu pada dasarnya satu.

Saya setuju dengan pemikiran Farriduddin Attar, dunia ini nampak sebagai sebuah kotak, manusia hidup, beranak, bercucu, berkemenakan, bekerja, tidur, dan bermimpi di dalam kotak. Manusia di dunia ini, kerjanya sibuk membuat kotak-kotak.

Kisah spiritual kali ini dipaparkan Prof Dr dr Sardjana SpOG(K)SH NSL, wakil Dekan Akademik Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News