Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama

Prof Dr Junaidi Mistar

Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama
Prof Dr Junaidi Mistar Guru Besar di Universitas Islam Malang.

Saat waktu magrib tiba, kami biasa berebut alat pukul bedug dengan teman-teman yang lain, seolah-olah bisa memukul bedug untuk memberi tahu bahwa waktu magrib sudah tiba itu merupakan suatu prestasi.

Pemukulan bedug ditutup dengan tiga pukulan dur… dur… dur… pertanda salat Magrib sebanyak 3 rakaat. Salah satu santri mulai mengumandangkan azan untuk memanggil orang sekitar datang ke musala untuk salat.

Setelah azan selesai, kami membaca puji-pujian sambil menunggu Kiai Sadu keluar dari rumah naik ke musala.

Begitu kiai datang, iqamah dilantangkan, dan kiai mulai menjadi imam salat Magrib yang dilanjutkan dengan wiridan. Kadang saya dilempar tasbih oleh kiai karena saat wiridan saya mengantuk.

Wiridan selesai, dilanjut dengan salat sunnah ba’diyah 2 rakaat dan setelah itu kami mulai diajari mengaji. Seperti umumnya di musala dan pondok pesantren, metode pembelajarannya adalah model sorogan, di mana santri menghadap ke kiai satu per satu.
Santri membaca Alquran dan kiai menyimak. On spot correction dilakukan jika ada ketidaksempurnaan dalam membaca Alquran, baik dari sisi makhroj-nya maupun dari sisi tajwidnya.

Pelajaran mengaji usai, dan masuk waktu isya. Lagi-lagi santri berebut alat pukul bedug untuk memberi tahu salat Isya akan dimulai. Pemukulan bedug ditutup dengan 4 kali pukulan, dur…dur…dur…dur… pertanda akan salat 4 rakaat.

Salat Isya diawali dengan salat sunah qobliyah 2 rakaat dan diakhiri dengan salat sunnah ba’diyah juga 2 rakaat setelah wiridan.

Pelajaran berikutnya adalah drill bacaan salat. Semua santri harus belajar membaca bacaan salat dengan nyaring, mulai dari niat dengan bacaan ”usholli” sampai salam.

Kisah spiritual kali ini datang dari Prof Dr Junaidi Mistar yang berawal dari musala tak bernama.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News