Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama

Prof Dr Junaidi Mistar

Kisah Spiritual dari Musala tak Bernama
Prof Dr Junaidi Mistar Guru Besar di Universitas Islam Malang.

Pada sesi pelajaran ini ada istilah tren, yang kemudian saya ketahui ternyata dari bahasa Inggris, train (training) yang berarti pelatihan. Tren sebenarnya adalah hukuman yang diberikan kepada santri yang tidak menunaikan salat Dhuhur.

Yaitu, saat santri-santri yang lain membaca bacaan salat dengan duduk bersila, santri yang sedang di-tren ini harus berdiri memperagakan gerakan salat sesuai dengan bacaan. Tentu saja saya juga pernah kena hukuman tren ini.

Kegiatan berikutnya adalah pelajaran tajwid atau kitab fikih dasar, yaitu Safinatunnajah dan Sullamuttaufiq yang dijadwal secara bergantian.

Untuk pelajaran tajwid, materi disusun dengan tanya jawab dalam bahasa Madura tetapi ditulis dalam bahasa Arab yang harus dibaca secara nyaring. Hingga sekarang, saya sangat hafal betul frase dan kalimat dalam pelajaran tersebut:

Soal: Kadipunapa se enyamai idhar?
Jawab: Dening se enyamai idhar enggi kakdinto…

Pelajaran ini mengakhiri kegiatan pembelajaran di malam hari yang selesai sekitar pukul 21.00.

Apakah setelah itu santri bisa istirahat? Belum. Santri yang besar masih ada tugas mengisi bak mandi musala dengan menimba air dari sumur. Bila bak mandi sudah penuh, baru kemudian santri beristirahat, yaitu tidur di musala.

Pagi hari menjelang Subuh, Kiai Sadu membangunkan para santri untuk salat Subuh, yang dilanjut dengan wiridan dan pelajaran mengaji lagi. Pelajaran ini selesai hingga matahari terbit.

Kisah spiritual kali ini datang dari Prof Dr Junaidi Mistar yang berawal dari musala tak bernama.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News