Kisah Sutradara yang Bisa Berjalan di Red Carpet Karena Film Berbiaya Rp 30 Ribu

Kisah Sutradara yang Bisa Berjalan di Red Carpet Karena Film Berbiaya Rp 30 Ribu
(Wregas Bhanuteja for Jawa Pos)

Dari dalam ’’kuburannya’’, Lembu Sura mengeluarkan kutukan yang intinya setiap dua windu sekali dia akan merusak seluruh wilayah Prabu Brawijaya. Karena itu, sampai kini, setiap Sura (salah satu bulan dalam kalender Jawa), warga sekitar Kelud mengadakan larung sesaji sebagai simbol Condro Sengkolo alias penolak bala.

Menurut Wregas, pesan besar dari Lembu Sura adalah cara orang Jawa menyikapi bencana. Bahwa musibah tak harus selalu ditangisi. ’’Waktu gempa Jogjakarta 2006, tetangga saya menjadikan rumahnya yang roboh sebagai guyonan (bercandaan, Red),’’ kata pria kelahiran Jogjakarta, 20 Oktober 1992, itu.

Sinema Jawa. Demikian Wregas menyebut benang merah karya-karyanya yang akan terus berusaha dipertahankannya. Itu merupakan bagian dari upaya dia memperkenalkan film dengan ’’identitas’’ Indonesia.

Identitas harus diberi tanda kutip karena dalam konteks Indonesia spektrumnya sangat luas dan beragam. Jawa, yang dipilih Wregas, hanyalah salah satunya. Dia memilih Jawa karena merupakan latar belakangnya, bagian dari kesehariannya.

’’Jawa itu sendiri saja sangat luas maknanya, apalagi Indonesia. Dan, itu kekayaan kita. Jadi, tidak perlu diseragamkan,’’ tegasnya.

Secara keseluruhan, dia sudah melahirkan 20 film pendek. Tapi, selain Lembu Sura, baru tiga lainnya yang diikutkan festival. Yakni, Hanoman (2011), Senyawa (2012), dan Lemantun (2014).

Hanoman masuk nominasi dalam Ganesha Film Festival di Bandung. Senyawa pernah berkompetisi dalam Jogja Netpac-Asian Film Festival 2012, Festival Sinema Prancis 2013, dan mendapat penghargaan sebagai Best Short Film di Freedom Film Festival, Malaysia. Sedangkan Lemantun menang sebagai Film Pendek Fiksi Naratif Terbaik dan Film Pendek Pilihan Penonton dalam XXI Short Film Festival 2015, Jakarta.

Sejak di Hanoman, Wregas sudah menyelipkan budaya Jawa. ’’Saat itu masih dibuat identik dengan wayang orang, batik, dan gamelan,’’ tuturnya.

Budaya Jawa yang menjadi benang merah karya-karyanya merupakan bagian dari upaya sutradara muda Wregas Bhanuteja agar film Indonesia punya identitas.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News