Komisi IX DPR Mencari Solusi Tentang Selisih Biaya Kenaikan Iuran BPJS Kelas III PBPU dan BP

Komisi IX DPR Mencari Solusi Tentang Selisih Biaya Kenaikan Iuran BPJS Kelas III PBPU dan BP
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemerintah dan BPJS Kesehatan serta sejumlah pemangku kepentingan terkait kenaikan iuran BPJS, Selasa, (28/1). Foto: Humas DPR RI

jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bersama Komisi IX DPR RI serta sejumlah pemangku kepentingan terkait menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk mencari solusi pembiayaan selisih biaya kenaikan iuran BPJS kelas III pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) yang berjumlah lebih dari 19 juta orang. FGD digelar di Ruang Pansus B Gedung Nusantara, Selasa, (28/1/2020). FGD tersebut dipimpin Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad didampingi Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melki Laka Lena.

Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto dalam FGD menjelaskan kata “dapat” berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa berdasarkan angka 267 Bab III Lampiran II disebutkan bahwa kata “dapat” digunakan untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang/lembaga sehingga memungkinan asset DJS Kesehatan digunakan selain yang terdapat di dalam pasal tersebut.

“Dengan demikian kata “dapat” dalam pasal 21 PP Nomor 87/2013 merupakan bentuk pemberian diskresioner dari penggunaan asset DJS Kesehatan, sehingga memungkinan asset DJS Kesehatan digunakan selain yang terdapat di dalam pasal tersebut,” jelas Terawan.

Direktur Utama BPJS, Fachmi Idris mengatakan berdasarkan peraturan perundangan, penggunaan asset DJS termasuk surplus DJS tidak dimungkinkan untuk digunakan membayar selisih kenaikan iuran PBPU kelas III.

Fachmi menyatakan bahwa kesimpulan RDP Komisi IX tanggal 12 Desember 2019 terdapat frasa “…diimplementasikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan…” untuk itulah, lanjut Fachmi, dilakukan telaah apakah alternatif dua yang telah disepakati tersebut terdapat potensi risiko hukum atau tidak.

Merujuk pada ketentuan Pasal 43 UU BPJS, menurut Fachmi tidak disebutkan tindakan yang dapat didiskresi maupun lembaga yang diberikan kewenangan melakukan diskresi atas ketentuan Pasal 21 PP 87/2013. Sehingga penggunaan kata “dapat”pada pasal tersebut, kata Fachmi, bukan dimaksudkan untuk menyatakan sifat diskresi atas penggunaan asset DJS Kesehatan oleh direksi BPJS kesehatan.

“Sehingga berdasarkan peraturan perundangan penggunaan asset DJS termasuk surplus DJS tidak dimungkinkan untuk digunakan membayar selisih kenaikan iuran PBPU kelas III,” tegas Fachmi.

Sementara dari Pihak Kepolisian RI yang diwakili Kadivkum Polri, Irjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho mengatakan berdasarkan arahan dari Presiden RI, agar mendukung percepatan pembangunan maka kepolisian diharapakan untuk tidak sembarang memidanakan pejabat negara terutama berkaitan dengan administrasi

Pemerintah dan BPJS Kesehatan bersama Komisi IX DPR RI serta sejumlah pemangku kepentingan menggelar FGD untuk mencari solusi pembiayaan selisih biaya kenaikan iuran BPJS kelas III PBPU dan bukan pekerja (BP) yang berjumlah lebih dari 19 juta orang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News