Koreksi Pendapat Pakar Hukum soal Tanah Rempang, Chandra Singgung Putusan MK

Koreksi Pendapat Pakar Hukum soal Tanah Rempang, Chandra Singgung Putusan MK
Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan (tengah) soal tanah Pulau Rempang. Foto: tangkapan layar YouTube.

5. Cynthia Chou and Vivienne Wee, "Tribality and Globalization: The Orang Suku Laut and the 'Growth Triangle' in a Conntested Environment". Dalam Geoffrey Benjamin and Cynthia Chou (ed.), Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural, and Social Perspectives. (Singapore: IIAS and ISEAS, tt).;

6. Jan van der Putten, "His Word is the Truth: Haji Ibrahim's Letters and Other Writtings". (Leiden: Research School of Asian, African, and Amerindian Studies, 2001).

Kedua, kata Chandra, perlu diketahui bahwa peraturan perundang-undangan tentang hutan baru ada setelah Republik Indonesia berdiri. Maka, secara  geneologis mereka (yang menempati Pulau Rempang sebelum itu) lebih berhak.

Chandra menjelaskan bahwa konflik agraria terjadi disebabkan karena adanya legal pluralisme antara pemerintah dan masyarakat.

"Legal pruralism merupakan situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berinteraksi dalam satu kehidupan sosial," tuturnya.

Di Indonesia, lanjutnya, hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam pengelolaan sumber daya alam dibandingkan hukum adat.

"Sering kali negara mengambil kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut," ucapnya.

Ketiga, merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, menegaskan bahwa hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi hutan milik negara dan pemerintah. Masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam, termasuk atas hutan adat.

Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan mengoreksi pendapat pakar hukum pertanahan Tjahjo Arianto soal tanah Pulau Rempang. Singgung putusan MK.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News