KPCDI: Pasien Cuci Darah Bayar Iuran BPJS dari Uang Jual Sampah

KPCDI: Pasien Cuci Darah Bayar Iuran BPJS dari Uang Jual Sampah
Petugas sedang melayani pendaftaran pengguna BPJS Kesehatan di Rumah Sakit. Foto Ricardo/jpnn.com

"Caranya dengan mengumpulkan sampah untuk dijual ke bank sampah. Uangnya digunakan untuk membantu pasien yang kesulitan membayar iuran BPJS dan ongkos ke rumah sakit,” ungkapnya.

Selain persoalan iuran BPJS Kesehatan, KPCDI juga meminta jangan lagi ada  diskriminasi tarif antara rumah sakit tipe A dan B dengan tipe C dan D untuk layanan Hemodialisa, termasuk hak atas obat.

Akibat kebijakan yang diskriminatif ini pasien yang hemodialisa di tipe C dan D masih harus mengeluarkan uang karena banyak komponen obat yang tidak diterima.

"Hal itu menyebabkan banyak pasien harus transfusi darah karena HB-nya turun disebabkan obat untuk meningkatkan sel darah merah tidak dijamin. Tragisnya, mereka terkena penularan hepatitis C," sebut Tony.

"Sekitar 60 persen pasien cuci darah terpapar hepatitis c setelah menjalani hemodialisa. Iuran sekarang sudah naik, tidak ada lagi cerita obat tak dijamin,” pintanya.

Dalam rangka menghemat biaya BPJS Kesehatan, KPCDI mengusulkan terapi utama berdasarkan cost effective dan kualitas hidup bagi pasien gagal ginjal dengan transplantasi ginjal dan selanjutnya dapat dipertimbangkan untuk cuci darah mandiri (CAPD).

Menurut Tony, biaya rata-rata pasien transplantasi ginjal per bulan berkisar Rp 3 juta - Rp 5 juta untuk pasien di atas 1 tahun. Semakin tahun biayanya relatif semakin kecil.

"Bandingkan dengan hemodialisa yang mencapai puluhan juta per bulan bahkan lebih jika memiliki komplikasi penyakit. Terapi CAPD juga lebih hemat biaya dari terapi cuci darah menggunakan mesin. Ini PR pemerintah bagaimana caranya bisa menghemat biaya, bukannya dengan mengurangi pelayanan obat,” katanya mengusulkan.

Dampak kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat dirasakan pasien cuci darah di berbagai daerah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News