Kurma Kedua Belum Habis, Lampu Sudah Padam

Kurma Kedua Belum Habis, Lampu Sudah Padam
Kurma Kedua Belum Habis, Lampu Sudah Padam
Tak gampang menemukan atmosfer Ramadan di Prancis. Meski Islam adalah agama terbesar kedua di negara ini, bulan puasa hampir tak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Saat musim panas seperti sekarang, mencari tempat berbuka di luar rumah bukan perkara mudah.

MARIA W. PARAMITA, Saint Etienne

  

Merasakan Ramadan di negeri yang punya pengaruh besar di Uni Eropa adalah pengalaman baru bagi saya. Saya termasuk beruntung karena tinggal di Saint Etienne, kota kecil dekat Lyon yang terletak di barat daya Prancis ini. Kota yang berpenduduk 200 ribu jiwa ini 40 persennya memeluk agama Islam, sehingga cukup mudah bagi saya untuk menemukan musala. Tak kurang ada sepuluh musala tersebar di kota yang terletak di wilayah Rhone Alpes ini. Selain itu, sebuah masjid agung, Grande Mosque de Saint Etienne, yang terletak di ujung utara kota.   

  

Meski begitu, suasana Ramadan hampir tak terasa. Kecuali beberapa hipermarket memajang suguhan ala Arab dan barang-barang berlabel halal persis di depan pintu masuk. Kurma, couscous  (butiran halus biji gandum yang ditanak, bentuk dan rasanya mirip nasi jagung di Indonesia), buah zaitun dalam beraneka bentuk (asinan hingga kering), serta kue-kue khas Ramadhan seperti baklaoua, kalbalouz manchi, dan makrout. Selebihnya, suasana seperti hari-hari biasa.

 

Kalaupun ada yang perlu diperhatikan bagi warga asal negeri tropis seperti saya adalah waktu berpuasa yang lebih panjang. Kebetulan, tahun ini Ramadan datang di musim panas, sehingga puasa dijalani selama 18 jam. Imsak pada pukul 04.00-05.00, dan buka puasa baru pada pukul 21.00. 

Tak gampang menemukan atmosfer Ramadan di Prancis. Meski Islam adalah agama terbesar kedua di negara ini, bulan puasa hampir tak ada bedanya dengan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News