Larangan Ekspor Batu Bara Harus Berlanjut, Jika Tidak Rakyat Jadi Korban

Larangan Ekspor Batu Bara Harus Berlanjut, Jika Tidak Rakyat Jadi Korban
Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai larangan ekspor batu bara harus dilanjutkan. Foto: Antara

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai larangan ekspor batu bara harus dilanjutkan meski menuai protes pengusaha dan dunia internasional.

"Kalau larangan ekspor batu bara tidak diberlakukan menyebabkan PLN menaikkan tarif listrik, akan semakin memberatkan beban rakyat," ujar Fahmi Radhi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Fahmy menjelaskan kebijakan larangan ekspor batu bara tersebut dipicu oleh tidak dipenuhinya kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) yang mewajibkan pengusaha untuk memasok batu bara ke PLN sebesar 25 persen dari total produksi per tahun dengan harga USD 70 per metrik ton.

"Saya prihatin karena batu bara seharusnya bisa memakmurkan rakyat justru kondisi sebaliknya malah memberatkan rakyat," kata dia.

Per 1-31 Januari 2022, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan telah membekukan izin ekspor 490 perusahaan batu bara dari total 619 perusahaan batu bara di Indonesia karena mereka tidak memenuhi

Pasalnya, sebanyak 418 perusahaan batu bara tidak pernah menjalankan komitmen DMO terhitung sejak Januari hingga Oktober 2021. Mereka terus mengeruk batu bara yang digali dari tambang-tambang di Indonesia, lalu menjualnya ke luar negeri dan tidak pernah memenuhi ketentuan DMO.

Menurut dia, meskipun ada denda bagi pengusaha batu bara yang tidak memenuhi ketentuan DMO, namun dendanya sangat kecil.

"Pada saat harga batu bara membumbung, pengusaha memilih membayar denda untuk lebih mendahulukan ekspor seluruh produksi batu bara ketimbang memasok kebutuhan batu bara PLN sesuai ketentuan DMO," ujarnya.

Kalau kebutuhan PLN tidak segera dipenuhi berpotensi menyebabkan 20 PLTU batu bara dengan daya sekitar 10.850 megawatt akan terjadi pemadaman.

Alternatifnya, PLN membeli batu bara di pasar dengan harga sebesar USD 196 per metrik ton. Namun, alternatif ini menyebabkan harga pokok penyediaan listrik (HPP) PLN membengkak yang dapat membuat PLN terpaksa menaikkan tarif listrik untuk mencegah kebangkrutan.

"Kenaikan tarif listrik sesuai harga keekonomian sudah pasti akan menaikkan inflasi yang makin memberatkan beban rakyat dan memperburuk daya beli masyarakat," jelas Fahmy.

Sejumlah negara mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut larangan ekspor batu bara.

Hal itu karena kebijakan Indonesia dianggap membuat harga batu bara dunia melambung hingga mendekati USD 200 per metrik ton. Mereka juga mengalami ancaman keberlangsungan pembangkit listrik yang menggunakan energi primer batu bara di berbagai negara.

Dalam keterangan menjelang pelarangan ekspor batu bara, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa batu bara merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Fahmy menilai kebijakan larangan ekspor batu bara merupakan wujud semangat nasionalisme dalam mempertahankan sumber daya alam demi kemakmuran rakyat.

"Selain untuk mendahulukan kepentingan dalam negeri juga untuk mengontrol kekayaan alam agar kekayaan alam dapat dimanfaatkan sebesarnya bagi kemakmuran rakyat," tegas Fahmy. (antara/jpnn)

Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai larangan ekspor batu bara harus dilanjutkan meski menuai protes pengusaha dan dunia internasional.


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News