Larasati Suliantoro Sulaiman; Abdikan Hidup untuk Batik

Berdayakan Perajin, Pilih Buatan Tangan

Larasati Suliantoro Sulaiman; Abdikan Hidup untuk Batik
Larasati Suliantoro Sulaiman; Abdikan Hidup untuk Batik

Jabatan ayahnya tersebut membuatnya sering blusukan ke pasar atau sentra-sentra batik. Dia tidak pernah absen dalam kegiatan itu sejak kecil. Dia belajar mengenai pembuatan warna, proses membatik, dan jenis-jenis motif batik.

"Dulu batik berharga sekali. Bahkan, saat perang gerilya 1948, harta yang diselamatkan, selain perhiasan, adalah kain batik," ucap perempuan kelahiran Bumiayu, 27 November 1934, itu.

Lalu, suatu ketika pada 1950, Presiden Indonesia Soekarno menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing. Keputusan itu membuat Belanda marah. Mereka menghentikan ekspor kain mori sebagai bahan baku batik ke Indonesia. Pekalongan pun lumpuh. Masyarakat beralih profesi menjadi petani. Krisis batik terjadi. Tidak hanya di Pekalongan, tapi di seluruh Jawa.

Untuk menyelesaikan krisis batik tersebut, sang ayah sampai harus mengirim perajin batik ke Malaysia. Di sana para perajin itu membuat batik, lalu hasilnya dikirim ke Indonesia. Itu dilakukan bertahap sampai Presiden Soekarno pada 1958 memutuskan membangun pabrik kain mori di Pekalongan. Setelah pembangunan tersebut, krisis batik di Indonesia berakhir.

"Waktu krisis itu, saya sudah SMA. Jadi, saya ingat betul kejadian tersebut. Melihat perjuangan bapak, sejak itu saya berjanji pada diri saya sendiri akan menggunakan batik seumur hidup. Saya tidak tertarik dengan pakaian impor seperti yang dikenakan teman-teman saya," terang Suli yang malam itu mengenakan sack dress batik jumput hitam dari Solo lengkap dengan scarf di lehernya.

Saat krisis batik usai, Suli telah menjadi mahasiswa semester III di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM). Kendati mengambil jurusan pertanian, kegiatan Suli untuk melestarikan batik tidak usai. Dia masih terus memakai batik dalam kesehariannya dan menularkan kecintaannya kepada orang lain. Lalu, pada 1970, dia merasa krisis batik kembali terulang.

Kali ini masalahnya bukan bahan baku mori, tapi serbuan batik cap dan printing. Banyak pembatik yang gulung tikar karena tidak kuat bersaing dengan batik cap dan printing. Dia langsung bergerilya mencari sisa-sisa pembatik yang masih ada. Dia menyemangati mereka untuk terus membatik. Dia berjanji batik itu akan dibeli untuk dijual kembali.

"Kalau di pasar, mereka pasti kalah. Lalu, saya bantu jual ke kalangan-kalangan terbatas. Alhamdulillah, sampai sekarang terus berlangsung," ungkap pemilik Griya Batik Jawa tersebut. Dia pun mengajarkan kepada mereka teknik pencelupan warna indigo (biru). Warna indigo dibuat dari daun nila sehingga yang dihasilkan perajin tidak hanya berwarna tanah.

Larasati Suliantoro Sulaiman, 78, tak pernah lelah menularkan kecintaan batik kepada generasi muda. Sebagai apresiasi atas sepak terjangnya dalam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News