Mahasiswa Indonesia Berharap Jam Kerja Mereka di Australia Tak Perlu Dibatasi

Mahasiswa Indonesia Berharap Jam Kerja Mereka di Australia Tak Perlu Dibatasi
Mahasiswa doktoral bidang teknik di Monash University, Naufan Nurrosyid, mengaku tak ingin menyia-nyiakan waktunya di Australia sehingga memilih bekerja sebagai cleaner dan asisten dosen.  (Supplied)

Dari pengalaman Naufan, biaya hidup yang termasuk dalam beasiswanya tidaklah mencapai batas garis kemiskinan di Australia, sehingga mau tidak mau ia harus bekerja untuk menutupi kekurangannya.

"Jadi menurut saya hal ini tergantung ke pemberi beasiswa dan individu mahasiswanya. Kalau pemberi beasiswa tak mampu memberi beasiswa di atas garis kemiskinan, mestinya jam kerjanya tidak perlu dibatasi," katanya.

Di sisi lain, kata ayah satu anak ini, mahasiswanya sendiri pasti tahu diri mengatur waktunya, karena mereka datang ke negara ini untuk menyelesaikan pendidikan yang menjadi prioritas bagi mereka.

"Jadi kalau memang bisa, tidak usah dibatasi, apalagi sekarang biaya hidup di Australia semakin mahal. Harga-harga naik semua," ucap Naufan, yang juga bekerja sebagai asisten dosen di Universitas Monash.

Sebagai asisten dosen, katanya, dia dibayar per jam, biasanya hanya tiga jam per minggu.

"Kadang dalam satu minggu dapatnya sampai delapan jam, tapi kadang juga sampai dua minggu tidak dapat sama sekali," jelasnya.

Sementara pekerjaannya sebagai 'cleaner' dijalaninya selam empat jam sehari, setiap Senin sampai Jumat.

"Bagi saya kerja di Australia ini menyenangkan. Kerja cleaning sangat low pressure, pekerjaannya juga tak berat, tapi sangat membantu secara ekonomi," paparnya.

Mulai bulan Juli, mahasiswa internasional hanya boleh bekerja maksimal 24 jam per minggu

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News