Mahasiswa Indonesia Berharap Jam Kerja Mereka di Australia Tak Perlu Dibatasi

Mahasiswa Indonesia Berharap Jam Kerja Mereka di Australia Tak Perlu Dibatasi
Mahasiswa doktoral bidang teknik di Monash University, Naufan Nurrosyid, mengaku tak ingin menyia-nyiakan waktunya di Australia sehingga memilih bekerja sebagai cleaner dan asisten dosen.  (Supplied)

Bangga bisa bekerja di Australia

Pengalaman bekerja di Australia yang menyenangkan juga dialami Jessica Vania Budiman, mahasiswa S1 jurusan desain komunikasi visual di University of South Australia.

Perempuan asal Jogja yang akrab disapa Jess tiba di Adelaide sejak Februari 2022 dan kini bekerja di pabrik es krim.

"Aku bekerja casual lima hari di pabrik es krim sejak tahun lalu. Menyenangkan sih. Kalau tidak sedang kuliah saya bisa kerja delapan hingga sembilan jam. Kalau pas kuliah kira-kira setengah hari jadi lima jam," ujarnya.

Di masa awal kerjanya, Jess ditempatkan di bagian produksi, namun sekarang telah dipercaya oleh perusahaan untuk membantu di kantor.

"Aku dikasih kesempatan untuk kerja sesuai bidangku di desain grafis. Jadi di samping kerja di produksi juga kerja di office," jelasnya.

"Aku merasa bangga bisa bekerja sesuai dengan jurusanku di Australia," kata Jess.

Menurut pengalamannya sebagai mahasiswa sambil bekerja, Jess menilai pembatasan jam kerja seharusnya tidak perlu karena setiap mahasiswa tentunya sudah mengetahui prioritas mereka masing-masing.

"Apalagi seperti saya dari Indonesia ya, saya mau ambil kesempatan sebanyak-banyaknya untuk kerja di sini karena kurikulum pendidikannya juga lebih renggang daripada kurikulum di Indonesia," jelas anak pertama dari dua bersaudara ini.

Mulai bulan Juli, mahasiswa internasional hanya boleh bekerja maksimal 24 jam per minggu

Sumber ABC Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News