Mahasiswi Papua di Australia: 'Indonesia Anggap Kita Setengah Manusia'

Mahasiswi Papua di Australia: 'Indonesia Anggap Kita Setengah Manusia'
Anak-anak korban kerusuhan Wamena yang mengungsi di Kodim 1702/Jayawijaya, Sabtu (5/10/2019). Foto: ANTARA/Desi Purnamawati

Hari Senin (26/08), sejumlah warga mengibarkan bendera bintang kejora, yakni simbol gerakan Papua Merdeka, di kantor Bupati Deiyai, yang juga serentak dilakukan di kota lainnya di Indonesia bahkan di luar negeri, termasuk di Australia.

Seruan untuk kembalikan internet

Saat insiden kerusuhan berlangsung di Papua, pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mengurangi kecepatan akses internet dengan alasan "menghentikan penyebaran informasi yang salah".

Pejuang hak asasi manusia serta penggiat digital mengatakan langkah yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi telah melanggar kebebasan informasi warga Papua.

Guberrnur Papua, Lukas Enembe mengatakan kepada wartawan di Jakarta jika ia telah banyak menerima keluhan soal pemblokiran internet.

"Makanya kami harap semua sisi informasi bisa dibuka," ujar Lukas, hari Senin (26/08).

Seperti juga yang dirasakan oleh seorang guru di Papua Barat, yang mengaku kepada ABC lambatnya kecepatan internet dan sebagian bahkan diblokir, telah membuat hidupnya sulit.

"Bagi saya sebagai guru, saya butuh koneksi internet untuk mengajarkan murid-murid saya," kata Fred.

"Juga bagi warga lokal karena pekerjaan dan urusan mereka semua tergantung pada internet dan sekarang tidak bisa bekerja karena pemerintah memblokirnya."

Seorang mahasiswi Papua Barat yang sedang kuliah di Australia menyampaikan kekhawatirannya menyusul serangkaian insiden di tempat kelahirannya, Papua Barat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News