Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Masjid, Kontrakan, dan Radikalisme
Suasana jumatan di Masjid Istiqlal beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

Ada yang menganggapnya sekadar pusat ibadah, tetapi ada juga yang melihat fungsi masjid yang lebih luas dari sekadar tempat ibadah.

Pemerintahan Joko Widodo mempunyai kebijakan yang keras terhadap Islam, terutama terhadap Islam politik yang membawa aspirasi syariat dengan berbagai bentuknya.

Sikap keras ini sering dianggap berlebihan sampai terlihat obsesif. Pengawasan dan pendataan terhadap masjid dan para penceramah, yang dicurigai menyebarkan paham syariat, dianggap sebagai indikasi sikap obsesif itu.

Kuntowijoyo, intelektual dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dua dasawarsa yang lalu memberikan refleksinya mengenai masjid dan umat Islam. Refleksi Kunto sampai sekarang masih dianggap relevan setiap kali membicarakan masjid dan Islam politik.

Dalam buku ‘’Muslim Tanpa Masjid’’ (1999), Kunto melihat bahwa masjid tak pernah bebas dari politik. Masjid dan politik tak pernah benar-benar bisa dipisahkan karena masjid dalam sosiologi Islam adalah pusat syiar dan pusat semua aktivitas sosial dan juga politik.

Selama masa kekuasaan Soeharto kekuatan Islam politik dimarjinalisasi dan diawasi dengan ketat. Partai politik berazas Islam dilarang, dan para aktivis Islam ditangkap melalui berbagai macam skenario.

Rezim Orde Baru lahir dan mendapatkan legitimasi dari umat Islam, karena Orde Baru dianggap sebagai kekuatan yang bisa menandangi dan mengalahkan kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Setelah menghancurkan PKI dengan operasi besar-besaran yang mendapatkan dukungan dari umat Islam, Soeharto kemudian berbalik mempergunakan kekuatannya yang sudah terkonsolidasi untuk memberangus Islam politik.

Jangan cuma masjid yang didata, rumah kontrakan juga, karena banyak kasus radikalisme yang berawal dari sana.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News