Masjid

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Masjid
Kubah Masjid Al Azhar, Jakarta saat gerhana bulan beberapa waktu lalu. Foto: Ricardo/JPNN.com

Kuntowijoyo, intelektual Universitas Gadjah Mada (UGM) dua dasawarsa yang lalu memberikan refleksinya mengenai masjid dan umat Islam. Refleksi Kunto sampai sekarang masih dianggap relevan setiap kali membicarakan masjid dan Islam politik.

Dalam buku "Muslim Tanpa Masjid" (1999), Kunto melihat bahwa masjid tak pernah bebas dari politik. Masjid dan politik tak pernah benar-benar bisa dipisahkan karena masjid dalam sosiologi Islam adalah pusat syiar.

Kunto memberikan ilustrasi mengenai ketegangan massa di Gedung DPR/MPR Senayan yang mewarnai jatuhnya Orde Baru melalui gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa pada 1998.

Ketika Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya, kontan puluhan ribu mahasiswa yang menduduki Senayan itu melakukan sujud syukur. Ini menjadi salah satu gestur yang sangat islami. Begitu pandangan Kunto.

Namun, ternyata kemudian terjadi hal yang kontradiktif. Ketika Wakil Presiden B.J Habibie maju menjadi capres untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Soeharto, para mahasiswa itu terbelah menjadi dua, mendukung dan menolak.

Dalam pandangan Kunto, para mahasiswa "Islam" itu seharusnya mendukung Habibie sebagai representasi tokoh Islam politik.

Terjadilah ketegangan yang menjurus ke bentrokan fisik. Dua massa yang bentrok itu adalah mahasiswa yang menguasai Senayan--dan menolak Sidang Istimewa MPR yang bisa memuluskan jalan Habibie menuju kursi kepresidenan—berhadapan dengan mahasiswa Islam yang bergabung dengan Laskar Islam Pam-Swakarsa.

Hal ini dipandang Kunto sebagai ketegangan sosiologis politis antara gerakan yang menjadikan masjid sebagai sentra melawan gerakan yang tidak menjadikan masjid sebagai sentra, meskipun dua-duanya mengaku sebagai muslim.

Al-Azhar dianggap sebagai simbol masjid umat, dan Istiqlal adalah masjid simbol negara.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News