Masyarakat Diajak untuk Memilih Pemimpin yang Jauh dari Pelanggaran HAM

Masyarakat Diajak untuk Memilih Pemimpin yang Jauh dari Pelanggaran HAM
Bedah Buku "Buku Hitam Prabowo Subianto, Sejarah Kelam Reformasi" yang ditulis oleh Buya Azwar Furqudyama di kawasan Cibinong, Bogor, Rabu (20/12). Foto: Source for jpnn

jpnn.com, BOGOR - Sejumlah aktivis menolak pemimpin pelanggar hak asasi manusia (HAM) masuk Istana. Aspirasi itu disuarakan dalam diskusi Bedah Buku "Buku Hitam Prabowo Subianto, Sejarah Kelam Reformasi" yang ditulis oleh Buya Azwar Furqudyama di kawasan Cibinong, Bogor, Rabu (20/12).

Diskusi di gelar oleh Gerak98 dan Aliansi Masyarakat Bogor Bersatu (AMBB).

Ulama Muda NU KH Husni Mubarak Amir mengapresiasi lahirnya buku yang menjadi moral yang sudah dilakukan oleh Buya Azwar untuk generasi muda Indonesia. Sebab, buku ini menjelaskan tentang sejarah kelam republik ini.

"Bahwa lewat buku ini kita tahu apa saja yang menjadi rekam jejak dari tokoh-tokoh bangsa yang hari ini masih beredar dalam pusaran politik nasional, terutama tentu Calon Presiden 2024 yakni Prabowo Subianto. Ini informasi yang layak dikunyah oleh para calon pemilih, agar mendapat pemimpin yang berkualitas, dan tentunya rekam jejaknya tidak punya benturan dengan kasus kemanusiaan, yakni pelanggaran HAM berat. Rekam jejak itu penting, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an," kata dia.

Akademisi Bogor Dr. Mastur Thoyyib yang juga pelaku perlawanan pada 1980-an menilai Buku ini penting untuk kaum muda sebagai pewaris bangsa.

"Saya apresiasi buku ini sebagai warisan bagi kaum muda yang mau berfikir dan tentu saja bergerak, Ini hasil poretan, ya, pemotretan bisa benar bisa salah, tetapi paling tidak ini memang potret dari sejarah kelam bangsa ini. Bahkan tahun-tahun saat itu memang kita ada di bawah sepatu lars tentara, karena memang saat orba kita hidup di bawah rezim militer," kata dia.

Sejarah politik Indonesia, menurut dia, penuh dengan kekerasan militerisme. Dia mencontohkan hampir semua penguasa, baik Soekarno, Habibie, hingga Megawati harus berhadapan dengan militer.

"Ini fakta sejarah, maka kita layak apresiasi buku ini untuk menjadi rujukan literasi untuk kaum milenial, bukan hanya untuk pemilu saja. Ini sumbangan berjasa, jika ideologi militerisme hidup, maka akan menjadi ladang kekerasan dan akan dipastikan tragedi pasti terjadi," jelas dia.

Masyarakat sipil harus memperjuangkan demokrasi untuk mengontrol kehidupan berbangsa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News