Mayo Romandho, Pencinta Musik Penggagas Record Store Day di Indonesia

Indonesia Ajak Orang Rayakan Musik dengan Kaset dan PH

Mayo Romandho, Pencinta Musik Penggagas Record Store Day di Indonesia
Mayo Romandho (dua dari kanan) bersama teman-temannya penggerak Record Store Day di Indonesia. Foto: Wahyudin/Jawa Pos

Alumnus Jurusan Manajemen Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, itu mengaku, awalnya dirinya juga berpandangan sama dengan orang kebanyakan. Ikut mainstream. Ketika ingin mendengarkan lagu baru, dia langsung mencari tempat yang menyediakan internet gratis.

Tapi, ada kejadian unik yang mengubah pandangan Mayo. Suatu hari dia bermaksud pergi ke tempat biasa dia mengunduh musik. Nah, ketika akan berangkat, ternyata hard disk 2 tera miliknya yang berisi full lagu-lagu hasil download rusak terkena virus. Berbagai cara sudah dilakukan untuk mengembalikan lagi peranti penyimpan data elektronik itu seperti semula. Tapi, tetap tidak berhasil.

Sejak saat itu Mayo mulai berpikir untuk mengubah pandangannya tentang kenikmatan mendengarkan musik. Yakni, mengoleksi bentuk fisik kemasan rekaman seperti CD, kaset, serta PH yang tak bisa diserang virus. Selain itu, kualitas suara yang dihasilkan perangkat-perangkat itu jauh lebih bagus daripada hasil download.

Berbekal keinginan kuat itu, Mayo mulai mengumpulkan uang untuk membeli kaset dan PH. Namun, dia sulit menemukan toko yang menjual perangkat mendengarkan musik itu. ”Terpaksa saya harus beli di luar negeri,” paparnya.

Cita-cita pria yang hobi nge-banditu tidak sebatas mengumpulkan rilisan fisik musik. Dia juga ingin membuka toko musik yang menjual vinyl dan merchandise musik. Memang keinginan Mayo itu terbilang aneh. Sebab, saat ini sudah jarang ada toko musik di Indonesia. Namun, impiannya tidak bisa dibendung. Dia akan tetap mendirikan toko musik agar penikmat musik di Indonesia tidak perlu ke luar negeri untuk mencari PH.

Tekad tersebut terbayar lunas. Pada 2011 Mayo meresmikan toko musiknya di daerah Senayan, Jakarta. ”Toko musik saya bernama Monka Magic,” tuturnya.

Perjuangan Mayo belum usai. Toko musiknya tak ramai dikunjungi orang. Pria 29 tahun itu mengungkapkan, orang enggan datang ke tokonya karena menganggap PH dan kaset sudah jadul. Praktis, pada awal-awal berdirinya Monka Magic, Mayo merugi.

Penggemar penyanyi Chrisye itu sempat frustrasi. Dia bahkan berniat menutup toko musik yang didirikan dari kantong pribadi itu. Namun, Mayo tersadar ketika membaca sebuah majalah musik yang menceritakan gerakan Record Store Day di Amerika Serikat yang ingin mengembalikan kebanggaan pada kaset, CD, dan PH. Dia ingin menerapkannya di Indonesia.

Kini semua serbamudah dan murah dengan digital. Namun, menikmati musik lewat kaset, CD, dan piringan hitam menghadirkan sensasi tersendiri. Itulah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News