Mayo Romandho, Pencinta Musik Penggagas Record Store Day di Indonesia

Indonesia Ajak Orang Rayakan Musik dengan Kaset dan PH

Mayo Romandho, Pencinta Musik Penggagas Record Store Day di Indonesia
Mayo Romandho (dua dari kanan) bersama teman-temannya penggerak Record Store Day di Indonesia. Foto: Wahyudin/Jawa Pos

Tanpa pikir panjang, Mayo membuat RSD yang pertama pada 2012. Tempatnya di toko kasetnya. Mengambil konsep cintai rilisan fisik musik, Mayo berupaya menggaet hati penikmat musik, khususnya anak-anak muda.

Tetapi, usaha itu tidak semudah membalik telapak tangan. Gerakan yang di Amerika Serikat sukses ternyata berkebalikan di Indonesia. Target Mayo meleset. Yang datang justru orang-orang tua yang ingin mengoleksi piringan hitam. ”Pengunjung anak muda sedikit yang datang,” ungkapnya.

Meski belum berhasil, dia tidak putus asa. Tahun berikutnya dia kembali membuat RSD. Masih tetap berlokasi di tokonya, kali ini Mayo mengajak toko musik indie Hey Folks. Pengunjung mulai banyak. Di antaranya, para penggemar musik indie.

Peluang itu berhasil ditangkap Mayo. Tahun berikutnya dia memfasilitasi band indie untuk tampil di RSD. Bukan hanya itu, musisi-musisi baru itu diberi kesempatan untuk me-launching albumnya di acara tersebut. ”Ternyata cara itu mampu mengundang banyak pengunjung yang datang,” jelasnya.

Gerakan cinta rilisan fisik musik itu pun semakin masif. PH kembali diburu para penggemar, anak-anak muda hingga orang-orang tua. Itu tidak disia-siakan Mayo. Tiap tahun Mayo menggelar RSD. ”Kini pencinta rilisan fisik di Indonesia sudah jauh lebih banyak,” ujar kolektor 9 ribu PH itu.

Mayo mengatakan, kaset, CD, dan PH kini menjadi gaya hidup baru. Pembeli tidak hanya ingin mendengarkan musik di dalamnya. Namun, mereka juga ingin melihat cover-nya. Semakin bagus sampulnya, semakin banyak yang suka dan mengoleksinya. Menurut dia, cover di CD, kaset, serta PH merupakan bentuk interaksi antara pembuat musik dan pembeli.

Keistimewaan lain dari rilisan fisik musik adalah kualitas suaranya yang jernih dan awet. Mayo mengatakan, suara yang keluar dari piringan hitam dan kaset berbeda dengan lagu yang di-download di internet. Memang orang awam belum bisa membedakan kualitas suara yang dihasilkan. Namun, penikmat musik sejati bisa mengetahui perbedaannya.

Memang masih ada tantangan lain. Yaitu, lambatnya industri musik Indonesia merespons kegemaran orang untuk membeli PH atau kaset. Baru satu dua produser musik yang menangkap peluang itu. Dengan demikian, pengadaannya harus diimpor. Selain itu, industri pembuat peranti musik belum siap. Saat ini masih sedikit pabrik yang membuat turntable atau alat pemutar piringan hitam. ”Tape untuk memutar kaset sekarang sudah mulai langka,” tuturnya.

Kini semua serbamudah dan murah dengan digital. Namun, menikmati musik lewat kaset, CD, dan piringan hitam menghadirkan sensasi tersendiri. Itulah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News