Melawan Kriminalisasi Berbau Politik di Pilkada 2024

Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada integritas penyelenggaraan dan partisipasi masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran tentang maraknya politik uang, manipulasi data pemilih, dan mobilisasi aparat untuk kepentingan politik tertentu semakin sering mencuat.
Belum lagi intervensi situasi politik nasional dalam pilkada yang juga menggunakan “tangan-tangan” sistem hukum atau merujuk pada pendapat saya sebelumnya mengenai isu politisasi hukum dan netralitas aparat.
Isu-isu ini menodai Pilkada sebagai institusi demokrasi dan memunculkan krisis kepercayaan di kalangan masyarakat.
Di sisi lain, demokrasi Indonesia juga sedang menghadapi tantangan dari krisis rasionalitas publik. Mengutip pandangan Jurgen Habermas, sistem politik hanya bisa bertahan jika masyarakat memiliki kepercayaan penuh pada integritas keputusan administratif yang diambil oleh pemerintah.
Ketika keputusan-keputusan tersebut dipersepsikan sebagai bagian dari agenda tersembunyi, maka legitimasi politik pemerintah pun dipertanyakan. (Jurgen Hebermas; 2004).
Inilah sejatinya yang tercermin dari praktik kriminalisasi atau politisasi hukum yang nyata terjadi selama ini.
Logika kekuasaan dan politik, berbenturan satu sama lain dengan pengetahuan dan hukum positif. Tidak adanya integrasi yang solid antara pengetahuan, keputusan politik dan hukum itu akhirnya melahirkan krisis rasionalitas dalam diri masyarakat.
Wacana bahwa demokrasi Indonesia sedang menghadapi ancaman serius bukanlah hal baru.
- Pimpinan Komisi III Minta Polisi Tindak Perusuh Saat May Day di Semarang
- Minta Kepastian Hukum Bagi Buruh, Sahroni: Upah Dibayarkan, Jangan Ada Ijazah Ditahan
- Kunker ke Kepulauan Riau, BAM DPR Berjanji Serap Aspirasi Warga Rempang
- Ketua Komisi II DPR Sebut Kemandirian Fiskal Banten Tertinggi di Indonesia pada 2024
- Rempang Eco City Tak Masuk Daftar PSN Era Prabowo, Rieke Girang
- Momen KSAL Minta Tunggakan BBM TNI AL Rp 2,25 T ke Pertamina Diputihkan