Melayani Waria meski Penuh Cibiran

Para Pelayan Tuhan untuk Kaum Terpinggirkan

Melayani Waria meski Penuh Cibiran
PUJIAN PINGGIR JALAN: Lagu-lagu Natal dinyanyikan para waria sambil membawa lilin yang dipimpin Yoyo (kiri) di pinggir Jalan Irian Barat. Foto: Frizal/Jawa Pos

jpnn.com - Orang-orang ini bisa saja melayani umat di gereja-gereja megah dengan lantai indah plus pendingin udara yang selalu berputar. Tapi, mereka malah memilih menjadi penjala manusia di tempat-tempat terpinggirkan. Senada dengan iman mereka bahwa Yesus ada di dalam orang-orang kehausan, orang telanjang, dan orang yang dipenjara.

= = = = = = = = = =

PARA wadam itu selalu berkelana di jagat nan kelam. Jauh dari sorot lampu. Tengok saja tempat-tempat mangkal mereka. Selalu remang-remang. Sebagian mungkin untuk menutupi ’’kekurangan’’ (atau kelebihan?) mereka dibanding perempuan asli. Tapi, yang jelas, di tempat gelap itulah mereka merasa nyaman.

Jauh dari penolakan orang kebanyakan di tempat-tempat normal. Tak bisa dimungkiri, dunia masih kerap menolak mereka. Ya, menolak lelaki dengan dada berisi, tubuh molek, kaki jenjang, plus rambut yang tergerai halus. Karena itu, para waria tersebut selalu dijauhi tetangga, lingkungan, atau kawan. Yang mereka terima adalah sindiran pedas hingga pengusiran.

Namun, meski dunia menolak, Tuhan tak pernah mengabaikan mereka. Itulah yang menjadi pegangan Zakaria Agus untuk berkarya di tengah-tengah mereka. Dengan teguh, Yoyo –sapaan Zakaria Agus– mengulurkan karya bagi para waria di sepanjang Jalan Irian Barat dan Ngagel.

”Saya cuma mau mereka merasakan kasih dan kenal dengan Yesus. Itu aja,” ungkap pria asal Jember itu. Panggilan untuk melayani tersebut bermula saat dia membentuk band rohani bernama Kimaru (Kita Manusia Baru).

Kelompok itu bergenre Japanese Christian Music. Band garapannya tersebut semula melayani umat di gereja-gereja. Warna musik yang nyentrik dalam balutan lirik bernuansa surgawi itu membuat mereka tampil beda dalam mengenalkan Yesus bagi jemaat. Pelayanan rutin tiap minggu di gereja lambat laun menjadi jenuh dan mulai tawar.

”Pelayanan rasanya kok gitu-gitu aja. Lantas kami diberi visi oleh Tuhan untuk menjangkau orang yang terpinggirkan,” ungkap alumnus Stesia Jember 1993 itu.

Orang-orang ini bisa saja melayani umat di gereja-gereja megah dengan lantai indah plus pendingin udara yang selalu berputar. Tapi, mereka malah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News