Memajukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu

Memajukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu
Memajukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu. Asnaini (dua dari kiri) bersama para juri Anugerah Saparinah Sadli. Foto: Mochamad Salsabyl A/Jawa Pos/JPNN.com

”Di desa saya, kalau misalnya ada laki-laki dan perempuan duduk bersebelahan ataupun sekadar memberi salam, itu disebut sumang. Saya sering dengar kabar bahwa masyarakat membicarakan itu. Meski belum ada yang langsung bicara ke saya,” terangnya.

Apalagi, lanjut dia, pemimpin perempuan belum bisa diterima secara penuh. Terutama oleh kaum pria yang sudah terbiasa menjadi pemimpin di daerah itu. Bahkan, dia sempat digugat untuk turun jabatan pada Juli 2013. Asnaini diminta lengser dengan dugaan pelanggaran aturan dan adat.

”Pertama ya karena sumang. Kedua, katanya raskin (beras miskin) dan inventaris desa yang saya kelola. Ketiga, saya tidak mau tanda tangan dana gapoktan (gabungan kelompok tani). Dan beberapa pasal lagi. Totalnya, saya digugat dengan sembilan pasal,” lanjut dia.

Perempuan yang sejak lahir hidup di Desa Pegasing itu sempat kaget. Sebab, gugatan yang ditembuskan hingga DPRD kabupaten itu memuat 270 tanda tangan warga desa. Itu sudah lebih dari setengah jumlah warga yang sekitar 500 jiwa. ”Waktu saya tanyakan, warga yang tanda tangan itu mengira untuk mendapat bantuan. Mereka tidak membaca bahwa itu tanda tangan untuk menggugat saya,” ungkapnya.

Mendengar informasi tersebut, Asnaini memilih diam. Dia memutuskan untuk menunjukkan kondisi lapangan kepada tim penyidik. ”Jadi, sewaktu ditanya soal raskin, saya hadirkan tiga kepala dusun saya. Soal inventaris, saya hadirkan kelompok pemuda. Dan soal gapoktan, saya memang tidak mau tanda tangan karena dananya sebagian besar bukan untuk warga saya, tapi warga luar desa,” terangnya.

Asnaini pun menegaskan, menjadi pemimpin perempuan bukan berarti dirinya tak menghormati adat sukunya. Sebagai masyarakat suku Gayo, dia mengaku terus berusaha melestarikan adat istiadat. Dia pun berencana menganggarkan dana desa untuk menyediakan pakaian adat yang bisa dikenakan saat upacara.

”Sewaktu diminta oleh warga, saya sebenarnya menolak. Karena saya sendiri tidak mau meninggalkan tugas sebagai ibu rumah tangga. Sesuai adat, warga pun meminta restu dari suami saya. Baru setelah saya mendapat dukungan dari suami, saya sanggupi,” tutur ibu tiga anak itu.

Meski menghormati budaya, Asnaini tetap menyimpan impian untuk memperkuat posisi perempuan. Terutama janda-janda di desanya. Menurut dia, stigma janda sebagai penggoda rumah tangga masih kuat. Karena itu, dia berusaha memperkuat ekonomi perempuan yang ditinggal suami tersebut.

LANTAI 28 gedung The Energy, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat malam lalu (26/9) diisi para sosialita dari berbagai umur. Para perempuan itu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News