Memajukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu

Memajukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu
Memajukan Desa lewat Ngerumpi Ibu-Ibu. Asnaini (dua dari kiri) bersama para juri Anugerah Saparinah Sadli. Foto: Mochamad Salsabyl A/Jawa Pos/JPNN.com

”Kalau misalnya tanya ke bapak-bapak, pasti mereka memperhatikan apa saja yang kurang dalam pekerjaannya. Karena kebanyakan kerjanya sebagai petani sawah dan kebun kopi, maka mereka biasa minta pembangunan jalan ke kebun yang jauh. Tapi kalau saya bicara dengan ibu-ibu, mereka pasti bicara soal urusan dapur rumah tangga. Salah satunya soal akta kelahiran dan kartu keluarga (KK) yang belum diurus,” ungkap Asnaini.

Dari hasil ngerumpi itulah, dia menemukan kendala apa saja yang belum diselesaikan di desanya. Perempuan yang sering dipanggil bu reje (panggilan kepala desa di Aceh) itu pun harus berkeliling desa untuk menanyakan siapa yang belum punya akta kelahiran dan KK. Upaya itu pun bukan sekadar tanda tangan.

”Saya ini punya kereta (sepeda motor, Red), tapi tak bisa naiknya. Jadi ya, kalau tidak diantar suami, ya bareng dengan saudara yang muhrim. Dari rumah-rumah warga, saya mencoba mengurus akta, tapi tak mudah,” tutur dia.

Asnaini mendapati, banyak perempuan di desanya yang sudah menikah, lalu bercerai. Tapi, mereka tidak atau belum mendapat surat cerai meski mantan suami sudah menikah dengan orang lain. ”Begini ini yang susah,” terangnya.

Bukan hanya soal kaum perempuan, istri Mirzan itu juga terus mencari tahu apa yang menjadi kebutuhan masyarakat desanya. Salah satunya listrik. Dia mengalirkan listrik ke Dusun Luwang pada 2012. Dusun tersebut belum teraliri listrik karena letaknya cukup jauh dari ibu kota kabupaten, yakni Takengon.

”Saya dengar curhatan mereka yang bilang belum dapat listrik sejak merdeka. Saya langsung undang sekretaris daerah untuk melihat kondisinya. Tak lama kemudian langsung dipasang,” terangnya.

Memang tidak mudah menjadi Asnaini. Di antara sekitar 295 kepala desa di Kabupaten Aceh Tengah, dia menjadi satu-satunya kepala desa perempuan. Hal tersebut sontak membuat orang yang tak tahu kaget. ”Saya memang suka ikut seminar dan pelatihan. Karena saya tahu ilmu SMA saja tidak cukup. Sampai pelatihan listrik pun saya ikuti. Jadi, kalau ada peserta perempuan, orang-orang tahu itu dari Pegasing,” jelas perempuan yang menjadi kepala desa sejak 2011 tersebut.

Apalagi, adat Aceh masih sangat ketat terhadap tingkah laku perempuan dan laki-laki di masyarakat. Salah satunya soal sumang. Sumang adalah tingkah laku yang tidak pantas antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya sumang penengonen yang menandakan perbuatan yang tidak enak dilihat atau tidak layak untuk dikerjakan.

LANTAI 28 gedung The Energy, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat malam lalu (26/9) diisi para sosialita dari berbagai umur. Para perempuan itu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News