Menelusuri Sisa-Sisa Kejayaan Lan Fang, 'Republik' Pertama di Indonesia (1)

Bertahan 107 Tahun sebelum Dihancurkan Belanda

Menelusuri Sisa-Sisa Kejayaan Lan Fang, 'Republik' Pertama di Indonesia (1)
Klenteng Lo Fang Pak, di Sungai Purun Besar, Kecamatan Sungai Pinyuh, Pontianak. Klenteng ini merupakan sisa peninggalan dari era kejayaan Lo Fang Pak, pemimpin Republik Lan Fang di Kalimantan Barat. Foto : Hendra Eka/JAWA POS
Kedekatan-kedekatan itulah yang membuat kepemimpinan Lo Fang Pak bisa dikatakan sebagai republik. Berbeda dari sistem kekuasaan lain saat itu yang masih monarki.

Fuad lantas mengambil beberapa referensi buku lainnya sebelum menjelaskan kenapa Lo Fang Pak bisa sangat kuat dan menjadi pemimpin. Karisma adalah salah satu kekuatan pemuda 28 tahun (ada yang menyebut 34 tahun) itu saat kali pertama masuk Kalimantan dengan menggunakan kapal melalui Kuala (muara) Mempawah, Pontianak, 1771.

Bersama sekitar 100 orang dari Tiongkok, dia memasuki Sungai Peniti untuk masuk pedalaman. Tiba-tiba, ada sebuah buaya yang hendak menyerang dan konon berhasil dihalau Lo Fang Pak. "Masyarakat makin menaruh hormat karena dia juga memiliki kemampuan di bidang persilatan serta pengobatan," jelasnya.

Sumber lain menyebutkan, dia makin terkenal karena membantu Sultan Abdurrahman (sultan Pontianak) saat bertikai dengan sultan Mempawah. Pertikaian karena pembangunan istana di hulu sungai kekuasaan Mempawah itu berakhir dengan perjanjian damai. Nama Lo Fang Pak makin diperhitungkan karena penandatanganan perjanjian dua kesultanan tersebut dilakukan bersama dirinya.
 
Kelompoknya makin tangguh karena hanya berisi satu etnis, tidak seperti kongsi Thaikong yang menaungi 14 kongsi. Lo Fang Pak berasal dari Shak Shan Po, Kabupaten Koyinchu, Provinsi Kanton. Dia memilih anggota dari satu etnis karena merasa bisa lebih dipercaya dan solid.

Meski demikian, tidak berarti anggotanya murni dari satu etnis. Sebab, dalam perjalanannya, warga Republik Lan Fang melakukan akulturasi dengan pribumi, khususnya Suku Dayak. Maklum, saat datang, mereka sendirian tanpa membawa istri.

Meski para lelakinya asli Tiongkok, para istri mereka tetap pribumi. "Termasuk buyut perempuan saya. Dia orang Dayak asli," ungkap penulis buku Aneka Budaya Tionghoa Kalbar itu.

Pola perantauan Hakka dari Tiongkok, kata Fuad, memang selalu datang sebagai bujangan. Terutama pada masa-masa kongsi dan penjajahan masih berlangsung di Nusantara. Akulturasi itulah yang membuat jumlah orang Tionghoa di Kalbar sangat banyak.
 
Bahkan, konflik horizontal di antara mereka jarang meletus hingga besar. Meski, pengusaha pemilik nama asli Lie Sau Fat itu tidak menutup mata bahwa pertikaian karena ulah oknum-oknum masih terjadi. Akulturasi tersebut juga menjadi salah satu warisan Lo Fang Pak dan kongsi lain yang masih bisa dilihat.

Saat Lan Fang didirikan, warga sebenarnya menginginkan Lo Fang Pak menjadi sultan saja, seperti halnya kesultanan Sambas dan Mempawah. Tapi, dengan bijak dia menolak dan memilih pemerintahan yang berbeda dari kerajaan. Lantas, dalam pemilihan umum disebutkan bahwa Lo Fang Pak terpilih menjadi presiden pertama.

Jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, di Kalimantan Barat berdiri sebuah republik. Negara de jure itu didirikan pada 1777 oleh Lo Fang Pak

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News