Menelusuri Sosok Nyoman Rai Srimben, Ibunda Bung Karno

Menelusuri Sosok Nyoman Rai Srimben, Ibunda Bung Karno
GUYUB: Keluarga bale agung datang ke Blitar pasca 40 hari meninggalnya Ni Nyoman Srimben, ibunda Ir Soekarno. FOTO: Repro Eka Prasetya/Baliexpressnews.com

Sejak usia lima tahun hingga akhirnya menikah dengan Raden Soekemi Sosrodiharjo, Nyoman Rai Srimben diasuh oleh Ni Ketut Nesa. Semasa remaja, Nyoman Rai Srimben lebih banyak beraktivitas di Lingkungan Bale Agung. Srimben tak pernah mengenyam pendidikan formal. Karena berasal dari keluarga pemuka agama, Srimben juga banyak bersentuhan dengan kegiatan adat dan keagamaan.

Ia diketahui bergabung dengan pesaren atau Sekaa Truni pada masa itu. Tugasnya di pesaren adalah menarikan tari rejang yang sakral setiap kali piodalan di Pura Bale Agung. Selain itu ia juga lebih banyak menenun membuat kain songket atau kain endek.

“Pada zaman itu tempat paling efektif bersosialisasi di kalangan wanita itu, selain di upacara yadnya, ya saat menenun,” imbuh Hardika. Singkat cerita Nyoman Rai Srimben bertemu dengan Raden Soekeni Sosrodiharjo pada tahun 1890-an.

Raden Soekeni yang saat itu ditugaskan sebagai guru di Sekolah Rakyat (SR) 1 Singaraja – kini SDN 1 Paket Agung – oleh pemerintahan kolonial, jatuh cinta pada Srimben saat melihat Srimben menari rejang di Pura Bale Agung, tepat saat umanis galungan. 

Saat itu Soekeni yang memiliki darah biru dari Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga itu sempat melempar Srimben menggunakan bunga cempaka. Konon Soekeni sudah sering melihat Srimben saat menenun.

Keduanya kemudian kawin lari. Kawin lari adalah hal yang sangat ditentang oleh penglingsir di Bale Agung. Pernikahan itu dianggap melanggar tradisi yang ada, karena di Bale Agung, wanita tak boleh dipersunting pihak luar. 

Pernikahan itu pun menyebabkan Raden Sukemi harus menjalani persidangan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menganggap Sukemi menyebabkan kegaduhan di masyarakat, kegelisahan para tokoh, dan kekacauan pada sistem tatanan adat di Bale Agung.

Soekeni saat itu dijatuhi sanksi denda sebesar 40 ringgit, karena terbukti menyebabkan kegaduhan. Salah satunya melakukan pernikahan dalam tradisi Jawa, tanpa persetujuan keluarga, atau yang kini dikenal dengan kawin lari. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News