Mengenal Tradisi Masyarakat Suku Sasak di Desa Ende, Adat dan Budaya Tetap Dijaga

Mengenal Tradisi Masyarakat Suku Sasak di Desa Ende, Adat dan Budaya Tetap Dijaga
Situasi Kampung Suku Sasak di Desa Ende, Lombok Tengah. Foto: Edi Suryansyah/JPNN.com

jpnn.com, LOMBOK TENGAH - Destinasi wisata Desa Ende yang merupakan kampung asli Suku Sasak di Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daya tarik pariwisata Pulau Lombok. 

Keunikan adat istiadat, keramahan, dan keanekaragaman produk budaya Sasak membawa kesan tersendiri bagi pelancong.

Desa Ende adalah salah satu dusun yang ada di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Letaknya tidak jauh dari Desa Sade

Ketua Pokdarwis Desa Ende Tantowi Surahman mengatakan perbedaan antara Desa Ende dan Desa Sade yang ada di Desa Rembitan.

Dia mengakui kedua desa itu sama-sama memegang teguh tradisi Suku Sasak.

Hanya saja kata dia, Desa Ende memiliki pembeda dalam menawarkan aspek yang luas sehingga para pengunjung dapat melihat peradaban Suku Sasak yang lebih luas. 

"Kami tidak pernah memungkiri kalau kami berkiblat di Desa Sade. Tetapi kami menawarkan aspek yang lebih lugas, peradaban Suku Sasak di Lombok," katanya saat ditemui JPNN.com pada Senin (16/1) kemarin.

Dia meyakini para wisatawan lebih nyaman bercengkrama dengan para warga yang ada di Desa Ende.

Selain itu, Tantowi juga menjelaskan Ende merupakan desa yang menerapkan sistem edukasi budaya yang menampilkan perumahan warga. Dia menyebutnya sebagai Bale Tani (Rumah Tani).

"Target pasar kami saat ini itu siswa dan mahasiswa yang ingin mengenal bentuk Bale Tani ini," ujarnya.

Menurut Tantowi, Bale Tani merupakan rumah para petani. Nama tersebut dilandasi oleh profesi dari warga yang ada di sana.

"Karena dulu sebelum adanya era modern ini seluruh masyarakat Sasak ini adalah petani," jelasnya.

Tantowi menerangakn bentuk atap Bale Tani yang pendek di bagian depan itu mempunyai filosofi yang sangat dalam.

Yang mana sebagai masyarakat suku Sasak pada dasarnya harus saling menghormati.

"Kalau kita masuk ke rumah ini, maka kita harus menundukkan kepala. Kalau tidak secara otomatis kita akan dihukum dengan bentuk terkena atapnya," terangnya.

Stuktur bangunan bagian atas dari Bale Tani tersebut terdiri dari daun ilalang yang diganti berkala dalam 5-7 tahun.

"Kalau pada bagian lantainya kami menggunakan tahan yang dicampur sekam. Biar teksturnya lebih kuat," ucapnya.

Kemudian pada bagian pinggir dari pondasi rumah tersebut dikelilingi dengan batu-batuan yang dieratkan oleh tanah liat.

Untuk bagian permukaan lantai rumah tersebut, warga Desa Ende menggunakan kotoran kerbau yang memiliki simbol dari kerja keras.

"Karena di sini sebagian besar bekerja, maka itulah simbol dari kerja kerasnya," lanjutnya.

Lebih jauh, Tantowi menjelaskan jika penggunaan kotoran sapi atau kerbau sebagai lantai pada permukaan rumah tersebut merupakan peninggalan leluhur masyarakat Sasak.

"Kotoran ini sebagai perekat dari tanah yang digunakan sebagai lantai rumah. Dan itu juga untuk mencegah munculnya debu ke permukaan," katanya.

Jumlah penduduk yang ada di Desa Ende sampai dengan saat ini dijaga hingga 35 Kepada Keluarga (KK).

Di Desa Ende terdapat 57 bangunan tradisional. Itu termasuk dengan gazebo dan lumbung padi masyarakat.

"Total masyarakat yang ada di sini itu sebanyak 170 orang lebih termasuk anak kecil," sebutnya.

Tidak hanya itu, di Desa Ende ini terdapat alat musik tradisional yang sangat langka ditemukan yaitu Genggong.

Alat musik itu bernama Genggong, sebuah alat sederhana yang terbuat dari pelepah pohon aren atau enao dengan tambahan benang, sebagai tali atau senarnya.

"Alat musik ini pada jaman dulu digunakan untuk mengungkapkan perasaan kepada pujaan hati," tandasnya.

Pada zaman dahulu di masyarakat Sasak melupakan isi hati merupakan hal yang sangat sakral.

"Cara salah satunya cara untuk menyampaikan isi hati itu dengan menggunakan alat musik ini," katanya lagi.

Dan cara untuk memainkan alat musik tersebut harus menggunakan tiga unsur, yaitu perasaan, embusan pernapasan, dan hentakan tangan. 

"Kalau ketiga unsur itu tidak terpenuhi maka suaranya tidak akan ke luar," paparnya.

Kemudian, ada juga keunikan lain yang masih diterapkan oleh masyarakat Sasak Ende, yaitu para dedare (gadis) diwajibkan untuk bisa menenun (nyesek).

Jika ada gadis yang belum bisa menenun maka tidak diperbolehkan untuk menikah. Tradisi tersebut karena melihat dari kebiasaan masyarakat Sasak yang hanya menanam padi sekali dalam satu tahun.

"Dan itu maksudnya sedia payung sebelum hujan, atau agar mereka punya kreativitas sebelum menikah," imbuhnya.

Desa Ende ini terletak di antara Jalan Raya Praya ke Kuta, sekitar 30 km dari Kota Mataram.

Jarak tempuh dari Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid sekitar 15 menit dan lima menit dari kawasan The Mandalika, lokasi Sirkuit Mandalika. (mcr38/jpnn)


Para wisatawan dianggap lebih nyaman dalam bercengkrama dengan para warga yang ada di Desa Ende.


Redaktur : Fathan Sinaga
Reporter : Edi Suryansyah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News