Menginjeksi Sektor Riil Dengan Suku Bunga Rendah

Oleh: MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR RI

Menginjeksi Sektor Riil Dengan Suku Bunga Rendah
Ketua Badan Anggaran DPR RI, MH. Said Abdullah. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com - Masih banyak negara berjibaku mengatasi pandemi covid 19 dan membalikkan ekonominya. Bahkan beberapa negara harus menghadapi second wave covid19, seperti beberapa negara di Eropa dan third wave covid19 di Amerika Serikat, ditambah pertumbuhan ekonomi yang minus hingga dua digit.

Kita patut bersyukur, beban ganda yang kita hadapi yakni pandemi dan pelambatan ekonomi tidak separah beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat.

Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik pada Triwulan III 2020 menjadi momentum bagi otoritas moneter dan fiskal untuk membuat kebijakan terpadu. Kebijakan Bank Indonesia dengan menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 3,75% suku bunga depocito facility sebesar 25 bps menjadi 3,00%. Dan penurunan suku bunga lending facility sebesar 25 bps menjadi 4,5% pada 19 November 2020 lalu patut kita apresiasi.

Kebijakan ini harusnya menjadi penyegar bagi industri perbankan, terlebih lagi sektor riil yang mulai bergeliat seiring dengan pelonggaran kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun kebijakan penurunan beberapa kategori suku bunga oleh BI Rate dengan serta merta belum diikuti oleh industri perbankan.

Hingga 20 November 2020, rata rata suku bunga deposito pada perbankan masih bertengger pada 4,71% untuk suku bunga deposito 1 bulan, 4,87% untuk suku bunga deposito 3 bulan, 4,85% untuk suku bunga 6 bulan dan 4,81% untuk suku bunga deposito 12 bulan.

Bila suku bunga deposito sedikit diatas anchor rate, berbeda dengan suku bunga kredit yang posisinya jauh diatas anchor rate. Suku bunga kredit perbankan masih antara 8 bahkan sampai 17% persen untuk beragam produk mulai korporasi, ritel, mikro dan KPR. Masih tingginya suku bunga kredit perbankan ditengah pandemi seperti ini jelas menjadi beban bagi pelaku usaha pada sektor riil. Maka, tidak mengherankan bila para pelaku usaha di sektor riil banyak yang memanfaatkan berbagai Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dijalankan oleh pemerintah.

Bagi para pelaku usaha yang usahanya tidak tercover oleh PEN, dampaknya terasa dengan makin membesarnya Non Perfoming Loan (NPL) perbankan. NPL Gross naik, bila Desember 2019 pada posisi 2,53% pada Agustus 2020 menjadi 3,22%.

Laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2020 menunjukkan sebanyak 7,38 juta pelaku usaha UMKM dan Non UMKM mengajukan restrukturisasi kredit dengan nilai outstanding restrukturisasi mencapai Rp. 884,46 triliun.

Indkator makro ekonomi, terutama sektor moneter sangat stabil, terlihat dari stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi, keadaan ini memberikan dukungan baik bagi perbaikan pada sektor riil.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News