Menjadi Pak RT di Masa Pandemi

Oleh: Muhammad Muchlas Rowi, Ketua RT 10/RW 14 Cakung Timur dan Komisaris Independen PT Jamkrindo

Menjadi Pak RT di Masa Pandemi
Komisaris Independen Jamkrindo Muhammad Muchlas Rowi. Foto: dok pribadi for JPNN

Namun sebagai insan BUMN, kita harus menjadi pionir di tengah masyarakat. Sementara sebagai aktivis Muhammadiyah dan mantan relawan akar rumput Jokowi, saya sadar betul jika dalam situasi seperti apa pun kita harus tetap berusaha jadi panutan (role model) dan agen perubahan (agen of change) dalam implementasi protokol kesehatan. Baik di lingkungan keluarga, pekerjaan, maupun kehidupan masyarkat.

Itulah mengapa, ketika mendapat kabar kurang baik dari para warga, saya buru-buru menghubungi Ketua Satgas RW 14, Aan Afandi namanya. Kami putuskan segera memberi kabar duka, lalu berkoordinasi untuk proses pemulasaran. Kami kembali berduka dan harus menambah kesigapan. Agar korban tak lagi bertambah.

Saat semua fasilitas kesehatan nyaris ambruk, karena pasien Covid-19 yang terus membludak, dan tenaga kesehatan yang kelelahan, semua pihak diharapkan ikut berkontribusi. Apalagi bagi seorang Ketua RT (seperti saya).

Tidak bisa kita hanya menunggu, sementara kabar duka tak lagi cuma datang dari pengeras suara masjid, atau grup-grup whatsup. Tapi dari sebalik dinding rumah tetangga. Kian hari, kabar itu makin dekat. Sanak kerabat, hilang bergantian.

Hingga Minggu, 11 Juli 2021, total jumlah kasus Covid-19 di Indonesia telah mencapai 2,5 juta orang. Kasus baru pasien Covid-19 sudah mencapai 36,2 ribu perhari, dan angka kematian mencapai 1000 orang per hari. Angka ini diprediksi akan naik terus, bahkan hingga Agustus mendatang.

Apalagi merujuk pada informasi dari Tim Mitigasi PB IDI, di tengah lonjakan kasus Covid-19, rumah sakit dan tenaga kesehatan saat ini telah mengalami fungtional collapes. Ini terjadi gegara banyak nakes terpapar Covid-19. Kekurangan obat, alat kesehatan lalu ikut gugur di tengah ‘medan tempur’.

Saat ikut mengevakuasi warga yang meninggal karena terpapar Covid-19, saya merasakan betul bagaimana sulitnya. Saya dituntut untuk melakukan koordinasi secara cepat, agar jenazah bisa dievakuasi dan mendapatkan fasilitas pemulasaran dari Puskesmas atau Rumah Sakit.

Tapi ternyata itu tidak gampang. Karena sebelum bisa dievakuasi harus ada upaya medis yang memastikan kematian si pasien. Jika tidak ada upaya medis, maka tidak ada evakuasi, begitu juga tidak ada surat keterangan kematian dan pemulasaran.

Menjadi RT di tengah pandemi memang tak mudah. Apalagi di tengah kesibukan lain baik karena pekerjaan yang tetap menumpuk, tugas kuliah yang menggunung, maupun jadwal mengajar yang berderet-deret.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News