Menjadi Santri Kiai Maimoen di Hari Santri

Oleh Dahlan Iskan

Menjadi Santri Kiai Maimoen di Hari Santri
NYANTRI: Dahlan Iskan (kiri) mengaji kitab Ihya Ulumuddin dari Mbah Moen, di Sarang, Rembang. Foto: JAWA POS PHOTO

Sedangkan saya yang mengenakan sarung duduk di sofa di sebelah Kiai Maimoen mengajar. Tentu juga memangku kitab yang dimaksud.

Meski saya diminta duduk di samping kiai, bukan berarti kemampuan saya di atas para santri itu. Saya pasti kalah. Terutama dalam penguasaan Arab gundulnya.

Saya memang pernah belajar ilmu nahwu shorof balaghah (tata bahasa dan sastra) selama enam tahun, tapi tidak sedalam para santri itu.

Pelajaran yang saya ikuti di pondok Sarang itu adalah filsafat. Pelajaran tertinggi di pondok. Karena itu, yang mengikutinya hanya 15-an santri.

Padahal, jumlah santri di pondok Sarang ini 4.000 orang. Filsafat, atau di situ disebut tasawuf, memang pelajaran terelite di pondok pesantren. Kian tinggi tingkat tasawuf, kian sedikit santrinya.

Dari total 140 santri yang memperdalam ilmu tasawuf, hanya 15 orang itu yang mencapai tingkat tertinggi.

Karena itu, Mbah Moen –begitu panggilan akrab Kiai Maimoen Zubair– sendiri yang mengajarkannya.

Beberapa informasi melegakan juga diselipkan di sela-sela pelajaran itu.

LIMA hari sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Dahlan Iskan menyempatkan diri sowan ke KH Maimoen Zubair di Rembang, Jateng. **** Usianya sudah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News