Menjelang Pemilu 2024, Istilah Orba dan Neo-Orba Ramai Diperbincangkan, Prof AS Hikam Merespons

Menjelang Pemilu 2024, Istilah Orba dan Neo-Orba Ramai Diperbincangkan, Prof AS Hikam Merespons
Pemilu 2024. Foto ilustrasi: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Penyebutan istilah neo-orba (orde baru) marak di kalangan akademisi dan politisi seusai Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan batas usia capres-cawapres yang diduga kuat sebagai upaya meluluskan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres di Pilpres 2024.

Istilan neo-orba juga ramai dierbincangkan seusai Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menuding penguasa sekarang mirip pemerintahan Orba.

Pengamat politik Prof Muhammad Athoillah Shohibul Hikam atau Prof AS Hikam merespons dengan menyebutkan ada perbedaan antara karakter orde baru dengan neo-orde baru.

Perbedaan pertama, kata Menteri Negara Riset dan Teknologi pada era Presiden Gus Dur ini, terletak pada sistem politik.

Pada Orde baru yang telah tumbang 1998, penguasa saat itu menggunakan military otoritarian sebagai senjata. Sementara neo orba, yang muncul saat ini cenderung menggunakan formal konstitusional demokrasi.

“Dari dua ini jelas ada perbedaan yang cukup kualitatif karena setidaknya karena neo atau yang disangka ini mempunyai semacam basis normatif sebagai konstitusional,” ujar Prof AS Hikam saat menjadi narasumber Diskusi Daring bertajuk Fenomena Neo-Orba di Pilpres 2024: Demokrasi di Simpang Jalan? pada Selasa (23/1/2024) malam.

Kedua soal kebijakan pembangunan ekonomi, orde baru menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang berbasis pada intervensi negara bercampur dengan kekuatan kapital swasta.

Sementara di zaman neo-orde baru sekarang, ada semacam restrukturisasi ekonomi dan pembangunan ekonomi atau bisa disebut neoliberalisme.

Pengamat politik Prof Profesor AS Hikam memberikan penjelasan tentang istilah neo-orba (orde baru) dan Orba yang marak jadi perbicangan menjelang Pemilu 2024.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News