Menyapa Art Center Melbourne dengan Pesan Cinta

Menyapa Art Center Melbourne dengan Pesan Cinta
Memet Chairul Slamet, komposer, konsuktor dan pimpinan Gangsadewa. Foto: Don Kardono/Indopos
Memet Chairul Slamet, master flute dan komposer  jebolan ISI Jogjakarta itu seolah merepresentasi kebudayaan negeri. Tiupan lima macam alat musik tradisional dari berbagai daerah di Indonesia itu cukup membuat merinding sekitar 350 penikmat musik di Fairfax Studio, Art Center Melbourne, Australia, 1 Agustus lalu.

Laporan DON KARDONO, Melbourne

SATU
setengah jam, Memet bersama grupnya Gangsadewa mengeksplorasi musik kontemporer. Memadukan gamelan yang bernuansa etnik dengan bas-melodi gitar elektrik dan organ yang modern. Alunan kendang, rebab, boning (Padang), bongo (Papua), ketipung (Pesisir), siter (Jawa), Bansi (Padang, sarunai (Padang), flute, genggong (Jawa), kecapi (Sunda). Kendang (Sunda-Jawa), taganing (Batak), gender (Jawa), rindik (Bali), bedug (rekayasa sendiri) dan sebagainya.

Rata-rata audience tidak banyak tahu, itu alat musik apa" Sejarah, filosofi dan ritualnya seperti apa" Terbuat dari bahan apa" Berasal dari daerah mana" Mereka makin sadar, betapa Indonesia betul-betul kaya akan kebudayaan bermutu tinggi. Perasaan itu tergambar dari antusiasme publik Melbourne itu mendengar satu per satu lagu dan suara alat musik yang dimainkan.

Sampai-sampai, jeda antara satu lagu ke lagu berikutnya, dari show satu ke show berikutnya, begitu senyap. Suara nafas pun nyaris tak terdengar. Teathre di pusat kota yang didesain dengan tata cahaya dan suara yang nyaris jernih itu menjadi amat syahdu. Terbawa ritme musikalitas Memet yang amat khas Indonesia, dengan segala ragam etniknya. Apalagi, personil Gangsadewa itu berputar, satu orang menguasai 4-5 alat musik yang berbeda.

Memet Chairul Slamet, master flute dan komposer  jebolan ISI Jogjakarta itu seolah merepresentasi kebudayaan negeri. Tiupan lima macam alat

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News