Menyapa Art Center Melbourne dengan Pesan Cinta

Menyapa Art Center Melbourne dengan Pesan Cinta
Memet Chairul Slamet, komposer, konsuktor dan pimpinan Gangsadewa. Foto: Don Kardono/Indopos
Kelompok asal Kota Gudeg Jogja itu membawakan 11 lagu, dan tampil dengan kostum hitam hitam, dibalut sentuhan batik berwarna cokelat. Memet yang berabut gonderong dan berkacamata tampil cukup serius. Menggunakan pola nada diatonis dan pentatonic, dia ciptakan harmoni yang mengalir unsur-unsur tradisional dengan melodi yang nyaman di telinga. 

Di lagu terakhir, Memet cukup berani improvisasi. Dia mengajak siapa saja untuk ikut menabuh alat musik di atas stage. Sebuah nyali yang cukup berani, dalam momentum resmi dan audience yang serius. Anak-anak kecil ikut naik panggung dan ikut memainkan kentongan. Waw, rupanya Memet sudah mengira, di akhir perform-nya itu tiga kendangnya tetap dominan.

Semua senang, semua happy, termasuk orang-orang Australia yang ikut maju di stage. Tepuk tangan mereka amat panjang, sambil berteriak dan berdiri. Seni betul-betul universal. Mereka yang tidak pernah mendengarkan alat-alat tradisional itu dimainkan dalam komposisi yang modern.

Respons-nya cukup mempesona. Penonton yang harus membeli tiket 30-49 Dolar Australia pun memberikan apresiasi yang tinggi. “Saya ingin musik tradisi itu digarap secara kekinian. Selama ini banyak musik tradisi yang tampil lugu. Apa adanya. Kalau seperti itu tidak akan maju. Kita malah terus ketinggalan zaman,” jelas Memet, komposer dan pimpinan Gangsadewa.

Memet Chairul Slamet, master flute dan komposer  jebolan ISI Jogjakarta itu seolah merepresentasi kebudayaan negeri. Tiupan lima macam alat

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News