Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?

Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?
Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?

Menyiasati Kompleksnya Persoalan Daya Saing Kehutanan Menghadapi Asean Economic Community 2015?PERTUMBUHAN investasi sektor merupakan hal penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang selama ini lebih didominasi dari pertumbuhan konsumsi dalam negeri yang porsinya mencapai 50% dari PDB Indonesia. Upaya mendorong pertumbuhan PDB dimasa depan harus dibarengi dengan upaya serius dalam mendorong pertumbuhan investasi serta peningkatan kinerja ekspor komoditi yang selama ini melamban.


Dalam subsektor kehutanan, investasi pengusahaan produk produk kehutanan baik di hulu (on farm) maupun di industri hilir (off farm) justru terus mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut disebabkan oleh dua hal pokok yaitu, kerusakan sumberdaya hutan itu sendiri yang berimplikasi pada melemahnya keunggulan komparatif atas produk produk berbasis hasil hutan yang menjadi andalan Indonesia selama ini, dan yang kedua lemahnya system kebijakan dalam mempertahankan keunggulan komparatif (absolute advantage) atau potensi daya saing yang dimiliki untuk dapat tetap dipertahankan di pasar internasional.


Menurut data APHI tahun 2012, jumlah unit Hak Pengusahaan Hutan-alam (HPH) tahun 2011 hanya tinggal 293 unit lagi dari 580 unit pada tahun 1992. Sedangkan jumlah HPH yang aktif pada tahun 2011 tinggal setengahnya (53%). Realisasi produksi menurun tajam dari 26 juta m3 pada tahun 1992 menjadi 4,65 juta m3 pada tahun 2011. Luas hutan yang dikelola pada tahun 1992 sebesar 43 juta hektar menjadi tinggal 16 juta hektar pada tahun 2011. Sedangkan untuk Hutan Tanaman Industri (IUPHHK HT), tampak laju pertumbuhan luas tanaman sangat rendah dengan laju rata rata 220.000 hektar per tahun. Menurut data APHI, jumlah luas tanaman kumulatif tahun 2010 sebesar 4.919.464 hektar, sedangkan target kebijakan 2005-2009 sebesar 9 juta hektar atau satu juta hektar tanaman per tahun.


Angka angka indikatif tersebut diatas menunjukkan bukti bahwa investasi kehutanan cenderung menurun secara berkesinambungan sehingga kemudian sulit dibantah secara fakta statistik jika sejumlah pihak menyebutnya sebagai investasi yang sedang surut (sunset industry). Sehingga mungkin cukup beralasan bagi pemerintah, secara finansial, untuk tidak lagi menganggap subsektor kehutanan sebagai subsektor potensial untuk mendorong pembangunan ekonomi nasional sehingga pembangunan subsektor ini bukan lagi prioritas dalam program penganggaran negara. Terlepas dari benar atau salah dalam proses pengambilan kebijakan penganggaran untuk menetapkan prioritas atas sub/sektor dalam pembangunan ekonomi nasional namun adalah fakta bahwa nalar nalar seperti demikian tetap digunakan dalam pengambilan keputusan pembangunan sektor/subsektor.


Rendahnya daya saing produk kehutanan Indonesia di pasar dunia merupakan salah satu inti persoalan yang menyebabkan jatuhnya investasi kehutanan. Dalam regim kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat yang berlaku saat ini maka secara teoritis rendahnya daya saing produk akhir atau produk setengah jadi secara linier berdampak pada rendahnya mobilisasi permintaan bahan baku kayu dari hutan untuk ditransformasikan menjadi barang siap ekspor. Kondisi ini menyebabkan turunnya harga kayu penghara (kayu bulat) yang diproduksi hutan, sementara produsen kayu bulat seperti HPH, HTI serta Hutan Rakyat tidak dapat mengakses harga yang menarik lebih tinggi di pasar kompetitif dunia. Sementara itu kondisi faktual yang kita hadapi di Indonesia bahkan lebih dari situasi tersebut, dimana ditengah pasar domestik bahan baku yang terdistorsi dari pasar kompetitifnya para produsen kayu bulat dihadapkan pada tingginya biaya produksi yang diduga akibat system kebijakan yang secara kumulatif bersifat disinsentif. Dalam kondisi seperti ini jangan pernah diharapkan perusahaan perusahaan kecil produsen kayu bulat di luar Jawa (HPH, HTI) yang bekerja secara independen (tidak terkait industri yang dikelola secara integrated) dapat bertahan hidup. Jadi bukanlah sesuatu yang mengherankan jika investasi di hulu maupun di hilir bisnis kehutanan secara sistemik terus mengalam penurunan.


Sampai kapan situasi ini akan terus berlaku tanpa adanya perubahan substansial dalam kebijakan?


Dalam sebuah analisis menggunakan instrument Constant Market Share Analysis (CMSA) terhadap kinerja ekspor Indonesia yang baru baru ini dilakukan terhadap enam produk unggulan kehutanan yaitu plywood, sawnwood, particleboard, pulpwood, Medium Density Fiberboard (MDF), dan furniture (unpublished) menunjukkan bahwa antara Tahun 1990-1997/1998 keenam produk tersebut memiliki daya saing yang besar dan memberikan pengaruh positif terhadap kinerja ekspor Indonesia, namun Tahun 1997/1998 produk produk tesebut mengalami kehilangan daya saing dan tidak pernah bangkit kembali sampai dengan saat ini. Posisi pangsa pasar saat ini (data 2011/2012) untuk jenis plywood hanya sekitar 14% berbeda dengan Tahun 1993 yang mencapai 53% serta pangsa pasar produk lainnya sekarang umumnya berada dibawah 2%.


Dalam analisis menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai ekspor yang terjadi selama ini hanya disebabkan karena adanya resonansi kenaikan agregat demand atas seluruh produk barang dan jasa di pasar dunia-sebagai implikasi dari pertumbuhan ekonomi dunia yang semakin baik. Fakta fakta menunjukkan bahwa benar pertumbuhan nilai ekspor Indonesia lebih disebabkan karena kenaikan harga barang ekspor dan secara relatif hanya sedikit diakibatkan oleh kenaikan volume ekspor. Secara teoritis dapat dijelaskan bahwa kenaikan harga, sebagai akibat pergeseran kurva permintaan agregat dunia memberikan pengaruh lebih dominan daripada kenaikan volume sebagai akibat kemampuan dalam bersaing merebut pangsa pasar di pasar global.

PERTUMBUHAN investasi sektor merupakan hal penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang selama ini lebih didominasi dari pertumbuhan konsumsi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News