Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)

Rumah Utama untuk Delapan Keluarga Keturunan Maro

Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (3-Habis)
WARGA TERTUA: Isidorus Ingkul, warga tertua sekaligus tetua adat Wae Rebo. Foto : Doan W/Jawa Pos

Namun, karena keturunan itu semakin banyak, warga Wae Rebo banyak berdiam di Denge atau Kombo di bawah gunung. Karena itu, yang tinggal di Wae Rebo kebanyakan warga sepuh dan anak-anak yang belum bersekolah.

 

"Yang bersekolah turun (ke Denge dan Kombo, Red). Kalau Senin, mereka berangkat dari Wae Rebo. Mereka baru pulang ke Wae Rebo hari Sabtu," ungkap Roman.

 

Anak-anak yang bersekolah itu, bahkan yang kelas I, tak boleh berjalan dengan tangan kosong. Kalau turun, mereka harus membawa berkilo-kilo kopi dan jeruk untuk dijual di sekitar sekolah. Sedangkan, pekan depannya, saat pulang ke Wae Rebo, anak-anak harus membawa beras, gula, garam, dan bahan-bahan lain yang tak ada di gunung. "Rata-rata tiga kilo," katanya.

 

Saat pulang itu Roman juga memamerkan keahliannya berbahasa Inggris. Itu dia dapatkan berkat guru dari Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Ruteng yang rutin ke Wae Rebo untuk mengajar bahasa Inggris. "Sebulan sekali kami belajar. Untuk bisa sambut turis asing," kata Roman.

Mbaru niang di Wae Rebo memang layak mendapat penghargaan. Kampung mini di Manggarai, NTT, tersebut tak hanya berhasil melestarikan rumah-rumah kerucut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News