Muncikari, Tante Dolly Mungkin Bingung, Tetapi Senang

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Muncikari, Tante Dolly Mungkin Bingung, Tetapi Senang
Ilustrasi. Foto: Ricardo/JPNN.com

Salah satu lokalisasi terbesar yang pernah dikenal di Indonesia adalah ‘’Dolly’’ di Surabaya. Sebelum resmi ditutup pada 2014 lokalisasi ini disebut-sebut sebagai tempat pelacuran terbesar di Asia Tenggara.

Diperkirakan hampir seribu rumah bordil berdiri di lokalisasi itu dengan jumlah pekerja mencapai angka sepuluh ribu.

Rumah bordil itu dikenal dengan sebutan ‘’wisma’’. Sebuah wisma besar dan paling terkenal seperti ‘’Wisma Barbara’’ bisa menyediakan sampai 50 perempuan, dan wisma-wisma kecil biasanya punya lima atau enam perempuan.

Bisa dibayangkan berapa jumlah perempuan yang bekerja di Dolly. Belum lagi para pekerja yang melayani sektor-sektor pendukung, seperti warung, tempat parkir, penjagaan keamanan, dan para penjual minuman keras dan operator perjudian.

Dolly menjadi legenda. Menurut sejarah lisan yang beredar dari mulut ke mulut Tante Dolly adalah wanita keturunan Belanda bekas pelacur yang pada 1960-an menyediakan rumah yang berisi perempuan untuk melayani orang-orang Belanda.

Awalnya hanya beberapa orang Belanda yang mampir ke rumah Dolly. Namun, lambat laun makin banyak orang yang mengetahui rumah Dolly dan kemudian menjadi pelanggannya. Perempuan yang disediakan pun makin banyak.

Pelanggan Dolly pun berkembang, dan orang-orang pribumi ikut menjadi pelanggan. Peluang bisnis itu dimanfaatkan juga oleh orang-orang pribumi. Maka jadilah wilayah Jl Girilaya, Putat Jaya, di Surabaya itu menjadi pusat layanan syahwat laki-laki yang populer.

Studi mengenai Dolly ditulis oleh Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam buku ‘’Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly’’ (1982).

Pelacur tidak ditangkap, tetapi para muncikari dikejar-kejar sebagai pesakitan. Tante Dolly pun mungkin senang.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News