Musim Dangkal

Oleh Dahlan Iskan

 Musim Dangkal
Dahlan Iskan.

Di manakah lagi panggung diskusi tentang pencucian hati. Ketika semua trotoar dipenuhi slogan kedudukan.

Baca Juga:

Siapakah lagi yang masih mengajarkan tata-cara membersihkan hati. Ketika semua debu dilumurkan ke kalbu. Dan hati yang berdebu dianggap sama sexy-nya dengan kelepon berbalut kelapa parut.

Di manakah ruang diskusi jalan menemukan Tuhan. Ketika semua jalan kebanjiran uang untuk mencari kursi.

Sungai sudah kehilangan kedungnya yang dalam. Yang tersisa hanyalah dasarnya yang kian dangkal.

Tidak ada lagi semedi.

Tidak ada mawas diri.

Tidak ada tempat untuk para sufi.

Inilah musim hati kemrungsung.

Dada membusung.

Perut melembung.

Tenggorokan melengkung.

Ludah menjadi gelembung-gelembung. Penuh racun.

Ke mana Toto Asmara. Setelah lama meninggal dunia.

Zikir sudah minggir.

Pun, pun, pun.

Bersyahabat sudah dianggap sama dengan mengucapkan syahadat.

Bait Allah disamakan dengan bangunan berkubah.

Tidak ada lagi diskusi puisi.

Ketika puisi juga dicabut dari esensi.

Ketika semua dahan dipaku untuk slogan.

Inilah sungai dangkal.

Dengan dewa sekelas Narada.

Dengan urea sosial media.

Esensi dijauhi.

Rating dikejar.

Hati diperdagangkan.(***)


Berita Selanjutnya:
Xinjiang

Durian kulitnya tajam. Demikian juga lidah manusia. Khususnya di musim hati didudukkan di kursi. Ketika yang dibicarakan hanya kulit-kulitnya, tetapi menusuk sampai dagingnya.


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News