Naikkan Harga Rokok Setinggi-tingginya, Jangan Dijual per Batang

Naikkan Harga Rokok Setinggi-tingginya, Jangan Dijual per Batang
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari. Foto: tangkapan layar webinar

Berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey 2019, sebanyak 19,20% pelajar adalah perokok aktif, dan sebanyak 65,2%  pelajar melihat iklan rokok di tempat penjualan.

Di samping itu, ada 60,9%  pelajar melihat iklan rokok di luar ruang, ada 56,8% pelajar melihat iklan rokok di televisi, dan sebanyak 36,2% pelajar melihat iklan rokok di internet.

Yang menyedihkan, ada sebanyak 60,6% pelajar tidak dicegah ketika membeli rokok, dan ada 71% pelajar membeli rokok batangan.

Pemerintah sejatinya tidak berpangku tangan menghadapi kegagalan meredam kenaikan perokok anak. Pada Februari 2020, Presiden sudah mengeluarkan Perpres No. 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024.

Di mana strategi dan arah kebijakan  RPJMN 2020-2024 adalah melarang total iklan dan promosi rokok  untuk menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7% pada 2024. 

Komitmen presiden untuk menurunkan prevalensi perokok anak semestinya didukung semua pihak, termasuk pemerintah daerah.

Fakta di lapangan menunjukkan sudah ada beberapa pemerintah daerah memulai inisiatif melarang iklan rokok untuk melindungi anak-anak menjadi perokok.

Lisda pun yakin larangan iklan rokok tidak akan membuat perusahaan rokok bangkrut. Contohnya Thailand yang sejak 2012/2013 sudah melarang iklan rokok tetapi tidak membuat perusahaan rokok bangkrut.

Pemerhati anak minta pemerintah menaikkan harga rokok dan tidak menjualnya per batang agar tidak dibeli pembeli di bawah umur.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News