Omnibus Kesehatan
Oleh: Dahlan Iskan
.jpeg)
Topik ini tentu menggiurkan di tengah isu mahalnya biaya menjadi dokter spesialis di Indonesia. Status "mahasiswa spesialis" membuat calon spesialis masih harus membayar uang kuliah.
Padahal ia/dia sudah kehilangan pendapatan: tidak bisa lagi buka warung –istilah buka praktik di kalangan dokter umum.
Status mahasiswa itu pula yang membuat calon spesialis masih terikat di universitas. Padahal universitas bukan mesin uang. Universitas justru perlu uang. Pasti tidak bisa membayar. Justru harus mengenakan uang kuliah.
Beda dengan rumah sakit: mesin uang. Ia perlu dokter ahli. Ia bisa menggaji. Persoalannya tinggal siapa yang mengeluarkan ijazah spesialis.
Bagi sahabat Disway tersebut itu bukan persoalan besar. Masalah terbesar baginya adalah: bagaimana bisa menjawab pertanyaan berat mamanya."Kapan ambil S3?".
Istilah S3 itu bukan berarti strata 3. Itu istilah rahasia keluarga. Hanya mama dan sahabat Disway tersebut yang tahu. Istilah S3 di situ harus diucapkan dalam bahasa Inggris: S-three.
Jadi, kapan mengambil S3?
"Hahaha... Itu pertanyaan sulit. Saya masih harus belajar ngurus pasien dan diri sendiri dulu," katanya.
Berarti Omnibus Law Kesehatan ini masih ibarat bus yang kurang besar. Kalau begitu kenapa tidak pakai Omnitrailer Law.
- Refleksi Hardiknas 2025, Lita Nilai Kesenjangan Pendidikan Masih Jadi Tantangan Besar
- Dasco Dinilai Tunjukan Gaya Kepemimpinan DPR yang Aspiratif
- Dokter Konsumen
- Liburan Wu-Yi
- RDP DPR, Cik Ujang Dorong Penguatan Otda Percepatan Pembangunan Tol Sumsel-Bengkulu
- Soal Pembayaran Tunggakan Triliunan TNI AL, Menhan Singgung Kebijakan Tersentralisasi