Pakar Epidemiologi Sebut Uji Klinis Obat Kombinasi Covid-19 Buatan Unair Belum Terdaftar di WHO

Pakar Epidemiologi Sebut Uji Klinis Obat Kombinasi Covid-19 Buatan Unair Belum Terdaftar di WHO
Ilustrasi petugas medis memeriksa kantong berisi plasma konvalesen dari pasien sembuh COVID-19 di Unit Tranfusi Darah (UTD) Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Foto: Nova Wahyudi/Antara

jpnn.com, JAKARTA - Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, meragukan validitas obat Covid-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang disponsori oleh Badan Intelijen Negara (BIN) dan belakangan menggandeng TNI. Pasalnya, penelitian itu telah melanggar sejumlah prosedur.
 
Pandu menduga, hasil penelitian tim riset Unair itu belum di-review oleh dunia akademis sesuai standar yang berlaku sehingga patut diduga, laporan risetnya belum sesuai kaidah standar laporan ilmiah untuk uji klinis.

Padahal, kata Pandu, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Namun, dia mengecek obat kombinasi Covid-19 buatan Unair dan BIN ini belum diregistrasi uji klinis WHO.

“Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/,  https://www.who.int/ictrp/en/,” kata Pandu di Jakarta
 
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis yang memahami prosedur uji klinis. Pasalnya, semua harus mengedepankan aspek transparan.
 
Menurut Pandu, selama tahapan riset harus dipantau oleh tim clinical monitoring  yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada independent clinical monitor, Data Safety Monitorign Board (DSMB) minimal 3 orang, meliputi masing-masing 1 ahli farmakologi, biostatistik, dan ahli penyakit yang diteliti.
 
“Harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya,” tegas Pandu.
 
Menurut Pandu tim clinical monitor dari BPOM RI dan kelompok independent yang evaluasi data uji klinik sehari-hari.

Clinical monitor melapor ke peneliti jika ada kesalahan prosedur untuk perbaikan. Laporannya juga ke DSMB.
 
“Kesalahan prosedur yang saya duga ada yaitu memasukkan orang tanpa gejala dalam subyek riset, karena ambil kasus di rumah susun isolasi di Lamongan dan SECAPA. Bukan hanya yang di rumah sakit, yang benar-benar butuh pengobatan,” terang Pandu.
 
Pandu juga mengingatkan agar setiap ada perubahan protokol riset harus dilaporkan dan direview oleh Komite Etik Penelitian yang independen dan disetujui oleh BPOM RI.

Komite Etik yang independen, harap Pandu, sebaiknya dari Balitbangkes Kemenkes RI dan beberapa pakar dari luar Unair sendiri.
 
Meski demikian, Pandu sedari awal sudah meragukan riset tersebut yang terkesan ingin mencari jalan pintas dengan mengabaikan prosedur ilmiah dan didiskusikan masyarakat ilmiah atas nama kedaruratan.

“Padahal WHO mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur,” ujar Pandu.

Oleh karena itu, Pandu berharap agar lembaga otoritas Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) bersikap tegas, apabila belum memenuhi syarat tersebut, BPOM bisa menolak pengajuan izin edar dan produksi obat kombinasi Covid-19.

Pakar epidemiologi menyebut ada persyaratan uji klinis obat sesuai standar yang ditetapkan secara internasional dan harus diregistrasi uji klinis di WHO.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News