Pakar Hukum Pidana UGM: KUHP Nasional Bertitik Tolak dari Asas Keseimbangan

Pakar Hukum Pidana UGM: KUHP Nasional Bertitik Tolak dari Asas Keseimbangan
Suasana sosialisasi KUHP baru yang digelar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) di Medan, Sumatera Utara, Senin (9/1/2023). Foto: Dok Mahupiki

"Meskipun baru disahkan tetapi sudah muncul pro dan kontra, bahkan dianggap mengancam kebebasan adalah hal yang wajar karena produk hukum atau KUHP ini tidak bisa lepas dari sudut pandang tertentu”, tutur Prof. Marcus.

Menurutnya, selama tiga tahun sosialisasi sebelum KUHP yang baru diterapkan, reaksi itu akan terus ada sampai nantinya diterapkan akan ada pula reaksi masyarakat. Bahkan, ia mengingatkan, KUHP lama sampai hari ini masih menimbulkan reaksi.

Dalam kesempatan tersebut, Pakar Hukum Pidana UGM tersebut menerangkan bahwa ada banyak keungguhan KUHP Nasional jika dibandingkan dengan KUHP lama buatan Belanda.

“Perubahan yang paling mendasar sebetulnya terletak di Buku I, karena ada perubahan paradigma tentang pidana. Ternyata pidana itu adalah alat untuk mencapai tujuan, sehingga semua akan merubah konteks peradilan pidana”, jelas Prof. Marcus.

Selain itu, lanjut Prof. Marcus, KUHP nasional bertitik tolak dari asas keseimbangan.

Dalam konteks perlindungan, pidana mengatur atau membatasi kesewenang-wenangan penguasa dan warga masyarakat main hakim sendiri.

Salah satu contohnya adalah mengenai kohabitasi, ada masyarakat yang meyakini kohabitasi dilarang, tetapi ada kelompok masyarakat tertentu yang masih melakukan.

Kemudian ada juga di kelompok masyarakat lain yang melakukan main hakim sendiri dengan penggerebekan.

Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) menggelar sosialisasi KUHP baru di Medan, Sumatera Utara, Senin (9/1/2023).

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News