Para Guru Bersuara di Konferensi Pendidikan Timur Indonesia, Semoga Didengar Pemerintah 

Para Guru Bersuara di Konferensi Pendidikan Timur Indonesia, Semoga Didengar Pemerintah 
Para guru, orang tua, mahasiswa yang menjadi penggerak pendidikan di Konferensi Pendidikan Timur Indonesia. Foto Mesya/JPNN.com

Namun, harapan itu hanya jadi angan-angan. Kendala infratruktur, tidak ada listrik, internet jaringannya susah.

Mama Ana menceritakan bagaimana anak-anak harus naik di pohon tinggi untuk mendapatkan sinyal. Tidak mau menyerah pada kondisi, Mama Ana pun menggunakan batu dan lidi menjadi media pembelajaran.

"Ternyata belajar tidak harus pakai teknologi tinggi. Media alam malah lebih bisa diterima anak-anak Sabu Raijua," ucapnya.

Maria Regina Jaga, penggerak pendidikan Timor Tengah Selatan (TTS), NTT juga bersuara. Dia bercerita tentang pembelajaran kontekstual dengan memasukkan permainan tradisional dalam pembelajaran bahasa Inggris.

Kakak Inja, panggilan akrabnya, menceritakan bagaimana orang hanya tahu TTS adalah daerah kering dan miskin, padahal banyak hal baik di wilayah Timor. Sayangnya tidak mendapatkan support banyak dari pemerintah.

"Banyak anak daerah kami yang bermimpi besar, tetapi kami berjuang sendiri," ujar guru bahasa Inggris ini.

Kakak Inja menceritakan bagaimana dia berusaha mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak. Di awal-awal tantangannya sangat berat, bagaimana mengajarkan bahasa Inggris, bahasa Indonesia saja sulit. 

Dia mengungkapkan masyarakat TTS lebih tertarik bekerja di tambang karena bisa mendapatkan upah harian. Anak-anak wajib sekolah pun disuruh bekerja membantu orangtuanya.

Para guru, orang tua, mahasiswa yang menjadi penggerak pendidikan bersuara lantang di Konferensi Pendidikan Timur Indonesia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News